Mengenal 'Sidik Jari' Tersembunyi di Foto Digital Anda, dan Risiko di Baliknya (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2021/04/mengenal-sidik-jari-tersembunyi-di-foto_01795422223.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenal 'Sidik Jari' Tersembunyi di Foto Digital Anda, dan Risiko di Baliknya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Layaknya butiran salju, tidak ada dua sensor pencitraan yang sama persis. Dalam komunitas forensik gambar digital, sidik jari sensor ini disebut "respons foto ketidakseragaman" (photo response non-uniformity).
Dan itu "sulit untuk dihapus meski dengan susah payah", kata Jessica Fridrich dari Binghamton University di negara bagian New York, AS. Sidik jari ini melekat pada sensor, tidak seperti seperti metadata foto yang "diterapkan dengan sengaja", jelasnya.
Mengidentifikasi foto palsu
Manfaat dari teknik sidik jari tak seragam ialah membantu peneliti seperti Fridrich mengidentifikasi gambar palsu. Pada prinsipnya, foto merupakan rujukan tentang dunia, dan oleh karena itu dapat digunakan sebagai bukti, karena menggambarkan kenyataan apa adanya.
Namun, dalam iklim disinformasi saat ini - diperburuk oleh keberadaan program pengedit gambar - semakin penting untuk mengetahui keaslian, integritas, dan sifat suatu gambar digital.
Fridrich telah mematenkan teknik penelusuran sidik jari foto, yang telah mendapat izin resmi untuk digunakan sebagai bukti forensik di pengadilan di Amerika Serikat.
Teknik ini membantu penyidik mengidentifikasi bagian foto yang dimanipulasi, menghubungkannya dengan perangkat kamera tertentu, atau menentukan riwayat pemrosesannya.
Fridrich percaya teknologi ini juga dapat digunakan untuk mengungkap gambar sintetis yang dihasilkan AI, disebut deepfake. Dan beberapa penelitian menguatkan hal ini.
Fitur yang membedakan deepfake dari jenis-jenis manipulasi citra lainnya ialah fotorealismenya.
Deepfake menghadirkan ancaman nyata bagi ekosistem informasi. Jika kita tidak dapat membedakan mana yang nyata dan yang tidak, maka semua media bisa diragukan keasliannya.
Di era post-truth, kemampuan untuk mengenali pemalsuan jelas merupakan perkembangan yang positif.
Tetapi pada saat yang sama metode penelusuran sidik jari foto dapat "memiliki kegunaan positif dan negatif", kata Hany Farid, seorang profesor di bidang teknik elektro dan ilmu komputer di University of California, Berkeley.
Meskipun Farid telah menggunakan teknik ketidakseragaman untuk menghubungkan foto-foto dengan kamera tertentu dalam kasus pelecehan - jelas merupakan manfaat - dia juga memperingatkan bahwa "dengan teknologi identifikasi apa pun, perlu kehati-hatian untuk memastikan ia tidak disalahgunakan" .
Ini penting terutama bagi orang-orang dengan pekerjaan tertentu, seperti pegiat hak asasi manusia, jurnalis foto, dan pembocor rahasia, yang keamanannya bergantung pada anonimitas mereka.
Menurut Farid, orang-orang seperti itu dapat "disasar dengan menghubungkan suatu gambar dengan perangkat mereka atau gambar [online] yang diunggah sebelumnya".
Saat mempertimbangkan masalah privasi ini, kita dapat menemukan kesamaan pada teknologi lain.
Banyak printer berwarna diam-diam menambahkan pelacak pada dokumen: titik-titik kuning hampir tak kasat mata yang menunjukkan nomor seri printer, serta tanggal dan waktu dokumen dicetak.
Pada 2017, pelacak ini mungkin digunakan oleh FBI untuk mengidentifikasi Reality Winner sebagai sumber kebocoran dokumen Badan Keamanan Nasional AS (NSA), yang menjabarkan dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden AS 2016.
Terlepas dari pendapat Anda tentang pembocor rahasia, teknik pengawasan ini dapat berdampak pada kita semua.
Komisi Eropa telah menyuarakan keprihatinan dan menyatakan bahwa mekanisme semacam itu dapat merongrong "hak atas privasi dan kehidupan pribadi" seseorang.
Jika kita menganggap sidik jari foto setara dengan nomor seri printer, maka ini mendorong kita untuk bertanya apakah respons foto ketidakseragaman juga melanggar hak individu atas perlindungan data pribadi mereka.
Terlepas dari kebiasaan kronis kita untuk buka-bukaan di internet, kita dengan gigih mempertahankan hak untuk privasi. Pada prinsipnya, orang seharusnya bisa memutuskan sejauh mana informasi tentang diri mereka dikomunikasikan secara eksternal.
Tetapi setelah mengetahui tentang pelacakan foto forensik, privasi mungkin hanyalah ilusi. Menghindari identifikasi lewat metadata standar saja sudah cukup sulit - Anda harus menghapus metadata setelah foto diambil, dan satu-satunya informasi yang dapat Anda cegah untuk dihasilkan saat memotret adalah geolokasi.
Namun respons foto ketidakseragaman jauh lebih sulit. Secara teknis, seharusnya kita dapat mengaburkannya, misalnya dengan menurunkan resolusi gambar, kata Farid.
Tapi, seberapa efektifkah cara itu? Tentu saja bergantung pada banyak faktor seperti jenis perangkat yang digunakan untuk mengambil gambar, serta algoritma pendeteksi sidik jari. Tidak ada solusi tunggal untuk menghapus sidik jari.
Jadi, haruskah kita khawatir tentang sidik jari foto dari sudut pandang etika?
Fridrich dengan jujur berkata, "seorang tukang kayu dapat membuat karya yang menakjubkan dengan palu, tetapi palu juga dapat digunakan untuk membunuh".
Meskipun tidak ada yang bilang kalau data tersembunyi di dalam foto Anda bisa membunuh, maksudnya adalah teknik ini bisa jadi berbahaya di tangan yang salah. Anda tidak perlu menjadi Donald Trump atau John McAfee untuk terdampak oleh maraknya metadata dan sidik jari foto.
Jadi, lain kali Anda memotret dengan smartphone, Anda dapat berhenti sejenak untuk merenungkan informasi apa lagi yang tertangkap daripada yang Anda lihat melalui lensa kamera.