Sejarah Ivermectin, Obat Cacing yang Diduga Dapat Melawan Virus Covid-19 (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Ivermectin, Obat Cacing yang Diduga Dapat Melawan Virus Covid-19 - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kala itu, menurut perkiraan World Health Organization (WHO), 17,7 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Onchocerna volvulus, dengan 270.000 di antaranya mengalami kebutaan total. 

Sejak 1974, WHO dibantu oleh Bank Dunia meluncurkan Onchocerciasis Control Programme in West Africa (OCP) guna menghentikan wabah ini. Sayangnya, karena program penghentian wabah onchocerciasis ini dilakukan hanya melalui aksi penyemprotan insektisida untuk membunuh lalat yang membawa cacing Onchocerna volvulus, kegagalan jadi hasil akhir yang terpaksa diterima. 

Untunglah, di saat bersamaan, Kitasato Institute dan MSD tengah melakukan penelitian yang menghasilkan invermectin. 

Awalnya, dalam penelitian yang dilakukan Kitasato Institute dan MSD (atau Merck) yang akhirnya menghasilkan invermectin, Merck tidak bermaksud menggunakan hasil penelitiannya sebagai obat bagi manusia. Ini terjadi karena sejak awal penelitian, Merck mengkhususkan diri menangani hewan, bukan manusia. Dan terlebih, karena onchocerciasis lebih banyak terjadi di negara-negara Afrika, tidak ada perusahaan farmasi manapun yang ingin terlibat menghentikan penyakit ini, termasuk Merck. 

Namun, sikap tersebut akhirnya berubah saat PBB mendirikan UN-based Special Programme for Research & Training in Tropical Diseases (TDR) pada 1975, untuk mempercepat kerja-kerja saintifik menemukan berbagai obat-obatan untuk menangani penyakit tropis. Melalui lembaga tersebut, PBB meminta invermectin digunakan pada manusia. 

Setelah enam tahun dimanfaatkan sebagai obat untuk hewan, akhirnya ivermectin digunakan untuk manusia. Dengan hanya memberikan 150 mikrogram invermectin per kilogram berat badan--yang dijual dengan nama Mectizan--para penderita onchocerciasis berhasil disembuhkan. 

Melalui penelitian lebih lanjut, sebagaimana dipaparkan Luis A. Perez-Garcia dalam studi berjudul "Ivermectin: Repurposing a Multipurpose Drug for venezuela's Humanitarian Crisis" (International Journal of Antimicrobial Agents Vol. 56 2020), ivermectin digunakan pula untuk menyembuhkan malaria, cikungunya, dan zika. 

Mampu Melawan Covid-19? 

Setelah sukses menangani berbagai penyakit yang diderita hewan dan mengobati manusia yang terjangkit onchocerciasis (juga penyakit manusia lainnya), ivermectin perlahan mulai dimanfaatkan sebagai pestisida--dengan nama abamectin--demi menyelamatkan tetumbuhan. 

Mengutip Crump, ivermectin kemudian menyandang status "wonder drug" atau "obat ajaib" bersama penisilin, aspirin, dan parasetamol. Penemunya, Satoshi Omura (dan tim Kitasato Institute dan MSD) bahkan menerima Nobel Prize di bidang Fisiologi dan Kedokteran pada 2015. Kini ivermectin tengah diteliti sebagai obat untuk menyembuhkan Covid-19. 

Sebagaimana dipaparkan Emanuele Rizzo dalam studi berjudul "Ivermectin, Antiviral Properties and Covid-19: A Possible New Mechanisme of Action" (Naunyn-Schmiedeberg's Archives of Pharmacology Vol. 393 2020), invermectin mencuat menjadi kandidat obat Covid-19 karena zat kimiawi ini memiliki kemampuan menghambat inhibitor atau SINE--senyawa yang terlibat sebagai alat transportasi inti sel ke sitoplasma yang dilakukan oleh heterodimer import/ß1 (protein)--milik virus. 

Karena SARS-CoV-2 menyimpan informasi genetik dalam bentuk RNA (Ribonucleic acid), maka invermectin diperkirakan dapat melakukan aksi interferensi pada protein virus ini. Ivermectin pun terbukti memiliki kemampuan membentuk atom oksigen yang menurut Rizzo dapat menetralisasi infeksi virus di tahan-tahap awal keberadaannya di tubuh manusia. 

Kemampuan-kemampuan inilah yang membuat ivermectin terbukti berkhasiat mengurangi infeksi virus Dengue, West Nile, Venezuelan Equine Encephalitis, hingga Influenza. 

Penelitian lain dilakukan oleh Leon Caly dari Royal Melbourne Hospital, Australia. Dalam hasil studi yang berjudul "The FDA-approved Drug Ivermectin Inhibits the Replication os SARS-CoV-2 in vitro" (Jurnal Antiviral Research Vol. 178 2020), dia menyebut bahwa ivermectin memang terbukti dapat mengurangi replikasi SARS-CoV-2 dalam tubuh manusia yang terjangkit--persis dengan alasan-alasan mengapa ivermectin diduga dapat melawan Corona seperti yang dipaparkan Rizzo. 

Masalahnya, temuan Caly hanya berdasarkan eksperimen di laboratorium, in vitro, yang memanfaatkan satu baris sel ginjal monyet yang direkayasa untuk seolah-olah meniru sel ginjal manusia. Padahal, SARS-CoV-2 lebih banyak menyasar sel paru-paru. 

Selain itu, temuan Caly soal khasiat ivermectin ini tercapai dengan dosis yang melebihi ambang batas otoritas kesehatan dunia manapun, khususnya Food and Drug Administration (FDA), yakni 35 kali lipat dibandingkan takaran maksimal penggunaan ivermectin untuk manusia. Akibatnya, belum ada kesepakatan apapun di kalangan ilmuwan tentang khasiat ivermectin melawan Corona. 

Secara umum, selain Caly, para ilmuwan dunia tengah melakukan riset penggunaan ivermectin melawan SARS-CoV-2. Apabila berhasil, riset ini akan sangat membantu manusia keluar dari wabah yang belum juga selesai. 

Related

Science 3715300144882014970

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item