Donald Rumsfeld, Penjahat Perang Amerika yang Mati Tanpa Pernah Diadili (Bagian 1)


Naviri Magazine - Donald Henry Rumsfeld, Menteri Pertahanan Amerika Serikat di era Presiden Gerald Ford dan George W. Bush, bertanggung jawab terhadap strategi Perang Dingin dan invasi Afganistan serta Irak atas nama perang terhadap terorisme, meninggal dunia di kediamannya di Taos, New Mexico, pada usia 88 tahun. 

Keith Urbahn, juru bicara keluarga, mengatakan penyebab kematian Rumsfeld adalah multiple myeloma. 

Rumsfeld menyatakan perang terhadap terorisme saat menjabat di periode kedua. Namun perhatiannya terhadap terorisme muncul sejak beberapa dekade sebelumnya. 

Dikutip dari autobiografi berjudul Known and Unknown: A Memoir (2011), dalam pidato saat menerima penghargaan George Catlett Marshall Medal dari Asosiasi Militer AS pada 17 Oktober 1984, Rumsfeld mengatakan, “Terorisme bukanlah [kejadian] acak maupun kerjaan orang gila yang terisolasi. Alih-alih, [terorisme] disponsori oleh bangsa-bangsa yang menggunakannya sebagai unsur utama dalam kebijakan luar negeri mereka.” 

Isi pidato Rumsfeld dilatarbelakangi oleh serangkaian aksi teror dari grup-grup militan yang menyeruak pada paruh pertama dekade 1980-an. Di Lebanon, kantor Kedutaan Besar dan barak Angkatan Laut AS jadi sasaran pengeboman, sementara intelijen dan warga sipil AS jadi korban penculikan. 

Pengeboman juga terjadi di Kedubes AS di Kuwait, di samping aksi pembajakan pesawat. Selain itu, sempat terjadi percobaan pembunuhan menggunakan bom terhadap Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, oleh Irish Republican Army. 

Sepanjang 1983-84, Rumsfeld menjadi utusan khusus pemerintahan Ronald Reagan untuk kawasan Timur Tengah. Tugasnya adalah mendorong penyelesaian perang sipil di Lebanon dan konflik Arab-Israel. Selama itu, Rumsfeld berusaha menyelami pergolakan politik di Timur Tengah sembari menemui tokoh-tokoh besar Arab seperti Hosni Mubarak dari Mesir, Amin Gemayel dari Lebanon, sampai Saddam Hussein dari Irak. 

Terlepas dari usahanya tidak disambut hangat oleh bangsa-bangsa Arab dan Israel, dan pengaruh kebijakan AS di Lebanon mulai luntur, pengalaman singkat tersebut menimbulkan kesan mendalam baginya tentang ancaman dari terorisme. 

Masih dikutip dari memoarnya, Rumsfeld percaya bahwa kiat sukses untuk menghadapi teroris adalah tidak sekadar melindungi diri, namun juga “menggiring pertempuran kepada mereka.” Menurut Rumsfeld, selain mengejar para teroris, penting juga memburu rezim yang menampung dan menyokong mereka. Singkatnya, seperti ditulis Rumsfeld, “Pertahanan terbaik adalah serangan yang bagus.” 

Rumsfeld lahir di Chicago, Illinois, pada 1932. Setelah lulus pendidikan ilmu politik di Princeton, ia bekerja sebagai pilot dan instruktur penerbangan di Angkatan Laut AS. Perjalanannya sebagai seorang Republikan dimulai pada usia 30, ketika terpilih sebagai anggota DPR. 

Selama jadi anggota dewan, Rumsfeld menyuarakan dukungan terhadap Perang Vietnam yang ditentang keras di dalam negeri, terutama oleh anak-anak muda dengan slogan populer: 'make love, not war'. 

Pada 1969, Rumsfeld melepas jabatan di DPR untuk membantu administrasi Presiden Richard M. Nixon merancang program ekonomi. Setelah Nixon lengser karena skandal Watergate, Rumsfeld direkrut sebagai kepala staf Presiden Gerard Ford—kelak diangkat sebagai Menteri Pertahanan sampai administrasi Ford berakhir Januari 1977. 

Kala itu, Rumsfeld mencatat sejarah sebagai Menteri Pertahanan termuda dalam sejarah AS—usianya baru 43 tahun waktu itu. Fokusnya selama menjabat 14 bulan adalah memperbarui persenjataan untuk menyamai alutsista Uni Soviet. Oleh karena itu Rumsfeld berusaha menambah anggaran belanja kementerian yang cenderung turun sejak pertengahan 1950-an. 

Agenda ini tersandung oleh pesan kampanye kandidat capres Demokrat, Jimmy Carter, yang menyerukan bahwa anggaran Kementerian Pertahanan terlalu besar. 

Setelah Ford kalah dari Carter dalam Pemilihan Presiden 1977, Rumsfeld memutuskan untuk absen dari dunia politik. Sampai dekade 1990-an, Rumsfeld terjun ke dunia bisnis sebagai CEO untuk pabrik pemanis buatan dan alat elektronik, kemudian sebagai penasihat perusahaan perbankan dan direktur perusahaan biofarmasi. 

Di sela-sela aktivitas bisnis inilah ia sempat bekerja sebentar sebagai utusan pemerintahan Presiden Reagan di Timur Tengah pada awal 1980-an. 

Pada awal masa jabatan di era Presiden Bush, Rumsfeld berambisi memodernisasi sistem pertahanan, salah satunya melalui pengembangan teknologi luar angkasa. Namun demikian, program ini cuma bertahan sebentar saja. Delapan bulan setelah dilantik, terjadi serangan Al-Qaeda. 

Semenjak itu fokusnya beralih ke strategi melawan terorisme melalui Perang Irak—sampai mengundurkan diri pada 2006. 

Rumsfeld dalam Pusaran Perang Irak 

Pandangan pada dekade 1980-an bahwa teroris disponsori oleh negara masih mengakar kuat di kepala Rumsfeld ketika menjabat Menteri Pertahanan (2001-2006) di bawah pemerintahan George W. Bush (2001-2009). Rumsfeld berperan mengarahkan aksi-aksi militer AS di Afganistan dan Irak sebagai respons terhadap serangan Al Qaeda ke World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 yang menewaskan hampir 3.000 jiwa. 

Satu bulan setelah serangan 9/11, pasukan AS—bersama militer Inggris—dikirim ke Afganistan untuk menggilas Al-Qaeda dan melengserkan pemerintahan Taliban. Koalisi menganggap Taliban menyediakan perlindungan bagi tersangka utama 9/11, Osama bin Laden dan Al-Qaeda. 

Pada pekan pertama Desember, misi membuahkan hasil: rezim Taliban runtuh. Menurut informasi yang diterima Rumsfeld, dalam invasi awal tersebut sebanyak 8-12 ribu pejuang Taliban dan Al-Qaeda meninggal, sementara korban jiwa di pihak militer AS mencapai 11 orang. 

Joseph J. Collins dalam buku Lessons Encountered: Learning from the Long War, mengatakan pada saat invasi ke Afganistan tengah dirancang, di lingkup Kementerian Pertahanan AS kala itu sudah mencuat spekulasi liar bahwa Saddam Hussein dan pemerintahan Irak juga berperan sebagai sponsor Al-Qaeda. 

Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz termasuk salah satu yang kerap mengungkit upaya untuk menyerang Irak. Akhirnya, pada November, Presiden Bush memerintahkan Rumsfeld untuk meninjau potensi rencana invasi ke Irak. Terlepas dari itu, melansir temuan koresponden David Martin untuk CBS News, enam jam pasca 9/11 Rumsfeld sebenarnya sudah punya gagasan untuk menyasar Irak. 

Dalam kertas memo yang ditujukan untuk para ajudannya—kerap disebut sebagai 'snowflakes—serpihan salju' disebutkan bahwa AS tidak hanya perlu memburu Osama bin Laden, tetapi juga Saddam Husein, meski tak ada bukti yang menghubungkannya dengan serangan 9/11. 

Sejak 2002, Presiden Bush, Wapres Dick Cheney, Rumsfeld, dan Wolfowitz kerap menyampaikan sejumlah pernyataan yang mengaitkan dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal Irak dengan jaringan terorisme yang mungkin disokongnya. Rumsfeld bahkan mengklaim tahu lokasi senjata tersebut. 

Praduga senjata pemusnah massal dan relasi dengan teroris menjadi justifikasi administrasi Bush untuk memulai invasi Irak pada 20 Maret 2003. Setahun kemudian sebenarnya Irak telah disimpulkan tidak memiliki senjata kimiawi atau biologis, bahkan tidak punya kapasitas menciptakan senjata nuklir, berdasarkan laporan dari tim investigasi Pentagon bernama Iraq Survey Group. 

Di samping itu, menurut temuan Pentagon pada 2008, tak didapati pula hubungan antara Saddam Hussein dan Al-Qaeda. 

Baca lanjutannya: Donald Rumsfeld, Penjahat Perang Amerika yang Mati Tanpa Pernah Diadili (Bagian 2)

Related

International 48042773746807230

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item