Fakta Mengerikan Honour Killing, Pembunuhan Atas Nama Kehormatan (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta Mengerikan Honour Killing, Pembunuhan Atas Nama Kehormatan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dalam riset bertajuk The Evolutionary Basis of Honour Cultures, yang disusun Andrzej Nowak dkk, disebutkan bahwa kultur pembunuhan atas nama kehormatan dulu dipakai suku-suku di Asia Selatan hingga Timur Tengah, sebagai strategi bertahan hidup di tengah kelangkaan sumber daya alam dan ketiadaan institusi kemasyarakatan yang kuat. 
 
Nowak meneliti masyarakat Kohistan yang tinggal terpisah dari peradaban lain di Pakistan sebelah Utara, berdekatan dengan wilayah Afghanistan. Untuk melindungi lahan dan SDA-nya, orang-orang Kohistan lebih mengandalkan kehormatan ketimbang penegakan hukum. Rasa takut dan balas dendam dijadikan jalan meraih reputasi kelompok. 

Kehormatan akhirnya setara dengan mata uang. Orang dengan penegakan moral dan norma sosial yang tinggi juga akan mendapat kehormatan yang tinggi. Kehormatan yang tinggi akan membuat seseorang dan keluarganya mudah mendapat dan mempertahankan harta bendanya. 

Sebaliknya, pembangkang yang tak paham akan batas-batas norma akan kesulitan bertahan hidup karena tak ada yang segan terhadapnya, tak ada yang ragu untuk merebut properti-propertinya. 

Di saat yang bersamaan, masyarakat Kohistan menjunjung sistem patriarki, sehingga definisi properti tak hanya meliputi rumah, lahan, dan barang, tetapi juga perempuan. Kehormatan orang Kohistan tercermin dari bagaimana anggota keluarga perempuannya bersikap. 

Dengan kata lain, perempuan dikekang. Sekali kekangan itu lepas, maka kehormatan keluarga juga turut habis. Perempuan pembangkang adalah aib, oleh karenanya ia dirasa patut untuk dibunuh. 

Kultur di Kohistan mencerminkan sikap masyarakat Pakistan lainnya, meski tak seluruhnya atau ada yang dalam kadar tak seekstrim masyarakat Kohistan. Kadang si perempuan pembangkang “hanya” diberi hukuman keras tapi tak sampai meninggal. 

Dalam kasus yang sekejam Ghani dan Bakhtaja, eksekusinya juga beragam: ditembak, dibakar, ditikam, dipukuli, dirajam, dipancung, hingga yang populer, disiram air keras. 

Kultur warga Kohistan adalah warisan masa lampau yang tak diikuti oleh banyak warga Pakistan lain. Modernisasi cukup berhasil mengubah pandangan masyarakat Pakistan untuk beberapa hal. 

Meski demikian, sikap konservatif masyarakatnya belum mampu mencegah tindak "honour killing" karena konsep tentang kehormatan itu sendiri masih mengakar kuat di akar rumput, terutama di kalangan keluarga miskin.

Hukum formal di Pakistan jelas melarang pembunuhan atas nama kehormatan. Pada 2004, menurut catatan Vice News, undang-undang kejahatan negara direvisi untuk kepentingan ini. Peliknya, undang-undang tersebut belum mampu untuk menjerat seluruh pelaku. Ini karena pelaku adalah kerabat korban, dan biasanya proses hukum mangkrak jika ibu korban atau kerabat lain telah memaafkan pelaku. 
 
Fakta lainnya yang mengerikan: agar bisa lolos dari jeratan hukum, eksekutor kadang sengaja dipilih dari anggota keluarga termuda, yang usianya masih anak-anak, sehingga ia tak diperlakukan layaknya kriminal dewasa. 

Lingkaran setannya terus bergulir, karena si pelaku di bawah umur yang bebas, akan meneruskan tradisinya saat ia berkeluarga, dengan anggapan pembunuhan atas nama kehormatan memang perlu dilakukan dan tak mengandung konsekuensi hukum yang jelas apalagi keras. 

Faktanya, kasus pembunuhan atas nama kehormatan juga terjadi di berbagai belahan dunia lain, baik di Barat maupun Timur. Data PBB tahun 2008, misalnya, menyebutkan bahwa diperkirakan ada 5.000 perempuan di seluruh dunia yang jadi korban "honour killing" per tahunnya. Sebuah lembaga advokasi perempuan yang dikutip BBC menyebut angka yang lebih tinggi lagi, yakni 20.000 jiwa. 
 
Anna Momigliano pernah melaporkan untuk The Nation, bahwa pembunuhan atas nama membela kehormatan masih ditolerir oleh otoritas di Italia dan masyarakatnya sekitar empat dekade silam. Setelah banyak dikecam, angkanya berkurang di era abad 21 ini. 

Namun tidak seluruhnya hilang, hanya namanya yang berganti. Kini, jika ada suami yang membunuh istrinya karena sang istri membawa aib atau membuat sang suami tak terhormat, namanya bukan "honour killing" tapi "crime of passion" (kejahatan karena nafsu). 
 
Menurut sebuah laporan Violence Policy Center, sebanyak 94 persen korban pembunuhan perempuan (1.438 dari 1.530) di Amerika Serikat dibunuh secara brutal oleh kerabat laki-laki atau orang terdekat. Ini membuktikan perkataan mantan aktivis Human Rights Watch, Widney Brown, dalam wawancaranya bersama National Geographic bahwa fenomena "honour killing" terjadi lintas kebudayaan dan agama. 
 
Pegiat dan akademisi yang fokus pada isu HAM, Dexter Dias dan Charlotte Proudman, pernah menulis di Guardian bahwa akar dari persoalan "honour killing" adalah patriarki yang mengakar begitu kuat. Sehingga cara terbaik untuk menghadapinya, sebagaimana saran Riada Asimovic Akyol di Al Jazeera, adalah melawan kultur misoginis.  

Perlu ada usaha dari pemerintah setempat, melalui institusi pendidikan dan sosialnya, untuk menyebarkan pemahaman tentang kesetaraan gender dan penghormatan yang setara serta manusiawi bagi perempuan. Bukan penghormatan brutal yang mengekang alias penghormatan yang didefinisikan oleh kelompok-kelompok penjaga prinsip patriarkis. 

Lebih lanjut lagi, menurut Dias dan Proudman, perlu ada penamaan ulang dari istilah 'pembunuhan atas nama kehormatan'. Istilah ini lahir dari kacamata si pembunuh, dan otomatis ofensif untuk korban dan kaum perempuan. Dewan Muslimah Kanada menyarankan 'femicide' (pembunuhan perempuan). 

Kofi Annan, saat dia menjadi sekretaris jenderal PBB, menyarankan 'shame killing' (pembunuhan untuk menebus rasa malu). 'Patriarchal killing' (pembunuhan patriarkal) juga istilah lain yang kadang-kadang digunakan oleh pegiat HAM dan aktivis gender. 

Intinya, tulis Dias dan Proudman, tak ada yang terhormat dalam praktik pembunuhan atas nama kehormatan. Korban kehilangan nyawa hanya karena menjalankan pilihan hidup yang berbeda dari keluarga atau masyarakat. 

“Dalam perjuangan ini, kata-kata memang senjata. Kita perlu menemukan kata-kata yang tepat, senjata yang tepat, untuk melawan kultur persekusi ini. Bukan 'honour killing'. Tidak ada yang namanya kehormatan dalam sebuah tindak pembunuhan.” 

Related

International 4781555773417839529

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item