Kecantikan Wanita dan Fakta-fakta Menarik di Baliknya (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kecantikan Wanita dan Fakta-fakta Menarik di Baliknya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kritik di Balik Sebutan Cantik

“Beautiful” dari Christina dan pidato Pink dalam MTV VMA adalah sedikit contoh usaha mendefinisikan ulang konsep kecantikan. Serupa Christina dan Pink, Dove pun sempat melakukan kampanye-kampanye penerimaan tubuh dan kecantikan yang beragam. 

Pada saat mayoritas produsen produk perawatan tubuh dan kosmetika mencoba menggiring khalayak untuk mengikuti standar kecantikan ideal, Dove berusaha mendulang simpati perempuan berbagai kalangan dengan kampanyenya. Satu di antaranya ialah kampanye #ChooseBeautiful.

Dalam kampanye yang mereka buat, Dove mendokumentasikan pengalaman sejumlah perempuan dari berbagai kota di dunia: San Francisco, Shanghai, Delhi, London dan Sao Paulo. Tampak dua pintu dalam tayangan kampanye #ChooseBeautiful tersebut, masing-masing dengan tulisan “cantik” dan “rata-rata”. 

Dari tangkapan gambar Dove, lebih banyak perempuan melenggang melalui pintu bertuliskan “rata-rata”. Dove memperkuat bukti bahwa jumlah perempuan yang merasa diri mereka cantik sangat kecil dengan menyertakan hasil studi mereka. 

Hanya 4 persen perempuan yang memilih “cantik” untuk mendeskripsikan penampilan mereka. Mendapati “fakta” ini, Dove pun mendorong perempuan untuk mengakui kecantikan mereka yang berbeda satu sama lain.    

Apakah kampanye yang dilakukan Dove ini seratus persen direspons secara positif?

Dilansir Fortune, sejumlah perempuan merasa ada yang salah dengan #ChooseBeautiful. Kat Gordon, penggagas 3% Conference misalnya, berpikir bahwa kampanye tersebut terkesan manipulatif. Sementara Jean Kilborne, pembuat film Killing Us Softly: Advertising’s Image of Women, menyebut #ChooseBeautiful sangat merendahkan perempuan.

Bagi orang-orang sepemikiran Gordon atau Kilborne, Dove telah sukses melakukan simplifikasi deskripsi perempuan, yakni berdasarkan kecantikan semata. Kenapa tidak berfokus pada kecerdasan, kemampuan emosional, atau keterampilan lain yang bisa jadi keunggulan perempuan? 

“Kamu tidak perlu menjadi cantik, dan tidak menjadi cantik bukan berarti kamu rata-rata. Merasa cantik merupakan kewajiban dan tekanan—kadang memang mendatangkan kesenangan, tetapi tidak melulu. Merasa cantik adalah pekerjaan besar: pekerjaan yang dilakukan perusahaan untuk terus meraup untung dan mengeksploitasi,” begitu petikan salah satu opini di Buzzfeed terkait kampanye Dove ini.

Dove menambah deretan institusi yang melanggengkan glorifikasi konsep kecantikan. Media-media massa lainnya sering kali menampilkan perempuan dengan label “cantik”,“seksi”, atau memotret laki-laki dengan embel-embel predikat “terganteng” atau “paling hot”. Tidak banyak yang menyadari bahwa hal ini merupakan bentuk obyektifikasi atau usaha mereduksi nilai seorang individu berdasarkan tampang atau tubuhnya.

“Seorang polisi cantik…” atau “Seorang dokter tampan…” adalah contoh judul-judul berita yang sengaja dipasang di media massa guna menarik perhatian khalayak. Cantik atau tampan menurut siapa? Tolok ukur mana yang dipakai? Kenapa memilih tolok ukur itu? Lalu kalau mereka (dikatakan) cantik atau tampan, apa relevansinya dengan peristiwa yang diberitakan? Kenapa orang terobsesi dengan konsep cantik? 

Pertanyaan-pertanyaan ini sayangnya cuma menjadi desir di tengah hiruk pikuk selebrasi kecantikan.

Renee Engeln, profesor Psikologi dari Northwestern University dan penulis Beauty Sick: How the Cultural Obsession with Appearance Hurts Girls and Women, menganggap kebiasaan memanggil “cantik” ini adalah permasalahan budaya. Penampilan menurutnya adalah topik paling mudah diperbincangkan di kalangan perempuan. Namun, bukan berarti hal ini harus menjadi keutamaan.

“Percakapan terkait penampilan memaksa setiap perempuan untuk memikirkan tentang penampilan mereka sendiri. Cobalah membantu mereka untuk mengalihkan diri dari percakapan seperti itu dengan mengangkat topik lain,” ujar Engeln sebagaimana dikutip dari Chicago Tribune. 

Kesadaran untuk tidak lagi memanggil “cantik” kepada perempuan juga sempat diisyaratkan Rupi Kaur dalam buku kumpulan puisinya, Milk and Honey. Di sana, ia menuliskan demikian,

“i want to apologize to all the women
i have called pretty
before i’ve called them intelligent or brave
i am sorry i made it sound as though
something as simple as what you’re born with
is the most you have to be proud of when your
spirit has crushed mountains
from now on i will say things like
you are resilient or you are extraordinary
not because i don’t think you’re pretty
but because you are so much more than that”.

Related

Female 450016456271801457

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item