Kisah dan Fakta Kelam di Balik Perang Melawan Narkoba di Filipina (Bagian 2)

Kisah dan Fakta Kelam di Balik Perang Melawan Narkoba di Filipina

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah dan Fakta Kelam di Balik Perang Melawan Narkoba di Filipina - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Daniel Berehulak mempublikasikan laporan panjangnya di The New York Times, berisi foto dan amatan langsung bagaimana pembunuhan ekstra yudisial dan manuver kelompok-kelompok vigilante menimbulkan trauma dan malam yang mencekam bagi penduduk kota Manila dan kota-kota lainnya. 

Mayat hasil persekusi ditinggal begitu saja di jalanan, dan ditengarai ada unsur kesengajaan agar orang-orang memahami konsekuensi menjadi pengedar atau pemakai narkoba. 

Polisi biasanya datang terlambat ke lokasi, bahkan kadang baru sampai di pagi hari, saat orang-orang sudah mengerumuni si mayat, fotografer telah mengabadikannya dari berbagai sudut pandang, dan pewarta telah mengunggah kejadiannya di kanal daring masing-masing. 

“Saya telah bekerja di 60 negara. Meliput perang di Irak dan Afghanistan, dan menghabiskan tahun 2014 hidup di wilayah yang terpapar Ebola di Afrika Barat, sebuah tempat yang diliputi ketakutan dan kematian. Apa yang saya alami di Filipina terasa seperti kekejaman dalam tingkat yang baru: petugas kepolisian segera menembaki siapapun yang dicurigai berurusan dengan narkoba. Orang-orang benar-benar serius memenuhi panggilan 'bantai mereka semua' yang diucapkan Duterte,” tulis Berehulak. 

Dalam laporan untuk Vice News bulan Desember 2016, Joanna Humphreys bertemu seorang korban salah sasaran yang selamat, dan mengatakan bahwa ada banyak orang yang senasib dengannya namun berakhir dengan kematian. Para kriminal dan pengguna, yang seharusnya diperlakukan sebagai pasien agar bisa lepas dari candu narkotika, dibasmi tanpa ada harapan membela diri di pengadilan. 

Humphreys mengutip ulasan The Guardian yang dirilis dua bulan sebelumnya, bahwa para saksi di tempat kejadian perkara mendengar teriakan penyesalan dari para pembunuh dari kelompok vigilante, bahwa mereka telah menembak mati orang yang keliru. 

Jika tidak dengan senjata api, pelaku persekusi juga menggunakan senjata lain seperti pisau pemotong daging, dan menyerang korban di tempat publik di tengah siang bolong. Mayatnya kadang ditempeli tulisan “pengedar narkoba” dan sebagainya. 

Polisi telah menyusun daftar orang-orang yang diburu. Namun, kondisi yang terlalu chaos akibat beredarnya kelompok vigilante membuat perburuan makin tak terkontrol. Siapapun bisa membunuh orang lain dengan tuduhan pengedar atau pemakai narkoba. Kadang ada bumbu alasan pribadi, misalnya balas dendam. Mereka, termasuk anggota kepolisian, tetap melenggang bebas, meski setelah persekusi muncul fakta bahwa korban bukanlah pengedar atau pemakai narkoba. 

Beberapa laporan mengungkapkan bahwa dalam sehari bisa ada 10 orang yang terbunuh, akan tetapi tak ada yang benar-benar bisa diverifikasi. Polisi dapat mengandalkan alasan pembelaan diri dan menghindari pertanggungjawaban hukum meski ada dugaan amat kuat bahwa korban persekusi sesungguhnya tak bersalah. 

Contoh kasus salah tangkap lain adalah Rowena Tiamson (22), anggota paduan suara yang pada akhir Juli 2016 ditemukan tewas dengan kondisi tangan terikat dan mulut tertutup rapat. 

Orang tuanya yang putus asa memohon agar mayatnya diperiksa dan kasusnya diusut tuntas, sebab faktanya Tiamson tak ada di daftar pengedar atau pemakai narkoba. Pihak berwenang dipaksa mengakui kekeliruan ini, tetapi tak ada tanggapan berarti dan perburuan jalan terus. 

Human Rights Watch (HRW) mencatat 63 kasus korban salah target dalam perang melawan narkoba selama Duterte memimpin Kota Davao. Data lain mengatakan bahwa setidaknya 30 persen dari 2.000 korban persekusi yang dilakukan oleh Davao Death Squad (DDS) adalah korban salah sasaran, sebab DDS menggunakan wewenangnya secara serampangan. 

Duterte kerap berkata bahwa perangnya menyasar pengedar narkoba kelas berat. Namun, dalam penelusuran HRW, yang sering menjadi korban adalah orang-orang dari kalangan kelas bawah. 

Pada akhirnya banyak yang menilai bahwa perang Duterte tak ubahnya sebagaimana perang antar kelas: lewat tangan polisi atau kelompok vigilante, orang-orang kelas atas memburu kaum miskin dan melakukan prosedur salah tangkap bagi kalangan kelas menengah.

Related

International 3945959989273242798

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item