Kisah Hilangnya Dokumen Penting Negara dalam Sejarah Indonesia (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Hilangnya Dokumen Penting Negara dalam Sejarah Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Penemuan Salinan Notulensi BPUPKI sebagai Titik Balik 

Polemik itu tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan, karena rezim Orde Baru menguasai diskursus publik. Versi Yamin, yang diartikulasikan dengan lebih ideologis oleh bukunya Nugroho, menjadi versi resmi negara dalam bentuk buku keluaran Sekretariat Negara.

Padahal Sukarno sebenarnya tidak ingin mengklaim sendirian sebagai penemu Pancasila. Berulang kali, dalam banyak kesempatan, Sukarno mengaku hanyalah “penggali” belaka. 

Sukarno bahkan menulis kata pengantar untuk buku Yamin dan di sana Sukarno mengatakan bahwa UUD 1945, juga Pancasila, adalah suatu “ciptaan nasional” dan dirinya hanyalah satu dari “62 orang putera dan puteri Indonesia” yang ikut andil merumuskannya.

Namun kerendahan hati Sukarno itu dianggap tidak cukup oleh rezim Orde Baru, bahkan dimanfaatkan untuk mengecilkan peranan Si Bung. Fakta bahwa Sukarno yang paling rinci menyodorkan rancangan Pancasila, bahkan dialah yang menyebut istilah Pancasila untuk kali pertama, diabaikan. 

Desukarnoisasi, yang sudah jadi praktik politik sejak Orde Baru berkuasa, sampai juga pada soal mendasar mengenai konstitusi dan dasar negara.

Diskursus menemukan titik balik saat salinan notulensi BPUPKI yang disimpan Yamin ditemukan di Solo dalam koleksi pribadi keluarga Yamin. Temuan itu membuat tiga jilid buku Yamin dapat ditinjau ulang berdasar dokumen primer. Puncaknya saat salinan notulensi yang dirampas Belanda dikembalikan kepada Indonesia pada 1994.

Dari sanalah A.B. Kusuma, yang pada awalnya ikut menyunting buku Risalah Sidang BPUPKI/PPKI terbitan Sekretariat Negara, menerbitkan buku berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dengan tebal 671 halaman. 

Berdasarkan penelusurannya, Kusuma berkesimpulan bahwa Yamin tak memberikan pidato seperti yang ditulis di buku Naskah Persiapan yang disusun Yamin sendiri. Dalam bukunya, ia memuat pidato Yamin yang asli yang hanya sekitar dua halaman saja. Pidato itu diperkirakan hanya menelan tidak lebih 20 menit saja. Ini sesuai dengan kesaksian Hatta.

Dari salinan notulensi yang sudah ditemukan itu diketahui bahwa Yamin membesar-besarkan peranannya dalam perumusan Pancasila. Mustahil Yamin berpidato sepanjang itu, karena ada tujuh pembicara yang berpidato pada 29 Mei dan semuanya (termasuk Yamin) menghabiskan waktu 120 menit. 

Diketahui juga kalau Soepomo tidak mengajukan lima rumusan dasar negara, melainkan mengajukan lebih banyak poin. A.B. Kusuma mengatakan bahwa usaha Nugroho untuk menjelaskan bahwa Soepomo juga sudah mengajukan lima sila sebagai rancangan dasar negara sebagai berlebihan.

Berdasarkan salinan asli notulensi sidang BPUPKI/PPKI, terlihat cukup jelas bahwa Sukarno adalah satu-satunya yang punya rumusan komprehensif dan menyeluruh. Sukarno pula satu-satunya orang yang dalam sidang BPUPKI sudah menyebut kata “Pancasila”. Lagi pula, Sukarno pun memang hanya mengajukan lima sila, tidak lebih dan tidak kurang. 

Bahwa redaksional, atau susunan kalimat versi Sukarno, tidak sama persis dengan lima sila seperti yang kita kenal sekarang, itu memang benar. Bahwa Sukarno juga menawarkan versi ringkas Pancasila, dari lima menjadi tiga, kemudian menawarkan satu sila sebagai saripatinya, yaitu “gotong royong”, itu juga benar. 

Tapi cukup jelas betapa lima sila yang ditawarkan Sukarno pada 1 Juni 1945 menjadi sumber utama, bahkan satu-satunya, yang lantas diadopsi menjadi Pancasila sebagaimana disahkan pada 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI.

Bahaya Hilangnya Dokumen Negara  

Ketika arsip yang dibawa Yamin tak bisa diakses sejarawan atau publik, maka sejarah soal BPUPKI tak bisa diungkap dengan baik. Hingga bisa menimbulkan kerancuan di masyarakat juga di lingkungan akademis. Soal kapan hari Pancasila, apakah tanggal 1 Juli atau 29 Juli pun bertahun-tahun lamanya menjadi sulit dijelaskan. 

Dampak paling fatal dari raibnya dokumen-dokumen penting negara adalah sejarah menjadi sumir, kabur, atau lebih tepatnya lagi: disumirkan, dikaburkan. 

Jika ada episode penting dalam perjalanan sejarah bangsa ternyata diselumit kekaburan, maka rezim penguasa akan mengisi kekaburan itu dengan mendesakkan versinya sendiri. Dan versi itu akan sukar dibantah karena dokumen terpentingnya tidak bisa terakses, sehingga evaluasi, kritik, atau bantahan akan sulit untuk meyakinkan.

Dampaknya sama: sejarah gampang dibuat kabur, untuk kemudian dari sanalah versi rezim penguasa bisa didesakkan sebagai versi resmi. Hilangnya sebuah arsip, bukan tidak mungkin, membuat manipulasi sejarah menjadi gampang dilakukan. Jika manipulasi itu disebarkan melalui berbagai saluran resmi, dan menyusup ke dalam kurikulum pendidikan dan buku pelajaran, sebuah bangsa akhirnya hidup dalam sebuah kebohongan. 

Related

Indonesia 7777328165046191430

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item