Mengenal Sejarah dan Asal Usul Hak Asasi Binatang


Naviri Magazine - Bukan hanya manusia yang punya hak asasi yang patut dihormati, tapi juga binatang. Karena, bagaimana pun hewan juga makhluk hidup sebagaimana manusia. Mereka menjauhi kesakitan dan penderitaan sebagaimana manusia, sehingga manusia tidak punya hak memperlakukan binatang secara sewenang-wenang. 

Karenanya, konsep hak asasi binatang adalah konsep yang meyakini kalau binatang juga punya hak untuk menolak rasa sakit, sebagaimana manusia.

Istilah hak asasi binatang mulai populer sejak 1964 hingga awal 1970-an. Istilah ini muncul karena objektifikasi terhadap binatang dianggap sudah keterlaluan.

Richard Ryder, seorang penulis dan psikolog dari Inggris, adalah salah satu orang yang mempulerkannya. Ia menciptakan istilah speciesisme untuk menggambarkan orang-orang yang mendukung berhentinya objektifikasi pada binatang. 

Paham ini mempercayai kalau binatang tak seharusnya dipandang hanya sebagai properti pemuas kebutuhan manusia, seperti dijadikan makanan, pakaian, subjek penelitian, hiburan, atau selalu dicap sebagai sesuatu yang mengerikan atau dikesampingkan hak hidupnya.

Dalam buku Painism: A Modern Morality, Ryder menggambarkan bahwa rasa sakit adalah salah satu indikator mengukur moralitas di era sekarang. Jika manusia enggan dilukai dan merasa sakit, maka binatang juga demikian, sebab keduanya adalah makhluk hidup yang dapat merasakan kesakitan.

Menurutnya, sebagai mahkluk yang diberi akal, manusia bertanggung jawab untuk membela hak-hak dasar hewan sebagai makhluk hidup. Sebab secara alamiah, hewan dan manusia sebenarnya saling membutuhkan dalam menjaga keseimbangan alam. Hal dasar ini bahkan sudah disadari sejak lama oleh manusia, pada abad-abad sebelumnya.

Menurut Ryder, pembelaan terhadap hak asasi binatang bisa ditelusuri sejak 1635. Pada awal abad ke-17 tersebut, di Eropa muncul gerakan membela domba-domba yang bulunya diternak untuk jadi kain wol, dan kuda-kuda yang ekornya dipotong untuk bahan tekstil. Pembelaan-pembelaan itu kemudian dikenal dengan istilah “Pembelaan Atas Kekejaman pada Binatang”. 

Gagasan tersebut juga menuai pro dan kontra. Kebanyakan orang saat itu tidak melihat pembelaan diperlukan, karena menganggap binatang sebagai komoditas.

Namun, sejak itu hingga akhir abad ke-19, para filsuf terus memperdebatkan tentang konsep hak asasi binatang. Mulai dari Rene Descartes, John Locke, Immanuel Kant, Jean-Jacques Rousseau, dan Jeremy Bentham, setuju kalau perlakuan terhadap hewan sudah seharusnya dibenahi. 

Meski di antara mereka juga ada perdebatan tentang perlukah manusia membela hak asasi binatang. Tapi semuanya sepakat kalau perlakuan keji dan bengis kepada binatang sudah tak relevan lagi.

Saat Charles Darwin, pada 1859, menerbitkan teori evolusinya yang kontroversial itu, hak asasi binatang juga semakin mencuat. Bagi orang yang memercayai teori Darwin, mereka jadi punya alasan kuat untuk tidak lagi memperlakukan binatang dengan buruk, karena manusia rupanya punya kekerabatan dengan mereka.

Darwin sendiri adalah orang yang paling getol mengingatkan kalau binatang juga punya sifat sosial, mental, dan moral yang berpola mirip seperti manusia. Sehingga semakin jelas kalau penyiksaan pada binatang yang membabi buta semakin tidak relevan. Ia juga yang paling menentang perilaku kasar pada binatang, termasuk memasang perangkap untuk menangkap hewan-hewan buas.

Di era sekarang, hak asasi binatang sudah lebih berkembang. Manusia dianggap masih bisa menggunakan binatang untuk membantu pembangunan peradaban, termasuk di dalamnya dijadikan ternak, bahan penelitian, dan sebagainya. Namun, manusia juga harus menimbang aspek kelayakan yang di sejumlah negara turut diatur regulasi. 

Misalnya bagaimana peternakan yang layak, atau aturan melindungi jenis hewan tertentu, atau ketentuan soal kesejahteraan hewan atau animal welfare. Setiap 15 Oktober juga diperingati secara internasional sebagai hari hak asasi binatang.

Di Indonesia, sejumlah regulasi dibuat untuk melindungi binatang. Seperti Pasal 302 KUHP Tentang Perlindungan Hewan, Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan beberapa lainnya.

Tentu saja regulasi-regulasi ini adalah produk dari kepedulian manusia pada hak asasi binatang. Regulasi-regulasi ini juga dibuat untuk mencegah sebagian manusia yang masih punya sifat barbar dan senang menganiaya binatang. 

Perilaku buruk pada hewan atau yang dikenal dengan istilah zoosadism, dikaitkan dengan orang-orang ber-IQ rendah, dan punya kecenderungan jadi pemerkosa atau pembunuh, seperti dikutip dari Mark Griffiths dalam tulisannya The Psychology of Animal Torturer.

Dalam paper The Relationship of Animal Abuse to Violence and Other Forms of Antisocial Behavior, ilmuan Arnold Levin, Carter Luke, dan Frank Ascione menemukan bahwa pelaku kekerasan pada binatang bahkan juga punya kecenderungan untuk jadi pelaku kekerasan pada manusia lain, terutama pada perempuan. 

Apakah Anda termasuk yang berpikir dan bertindak menghargai hak asasi binatang?

Related

Animals 3975256594494571259

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item