Sejarah Kelam dan Kisah Pembantaian Orang-orang Belanda di Indonesia (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Kelam dan Kisah Pembantaian Orang-orang Belanda di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Merasa tak aman, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah saudara di Jalan Bungur, Jakarta Selatan. Tapi alih-alih terlindungi, mereka malah jatuh ke tangan para pemuda ekstremis.

“Semua disuruh buka baju. Dengan kondisi setengah telanjang, kami digiring ke Stasiun Depok,” ungkap Jeanette.

Najoan juga mencatat, ada sekelompok pemuda ekstremis yang menculik 23 orang Eropa, 7 orang Indonesia, 5 orang Tionghoa, dan 4 orang Ambon. Mereka dikumpulkan di bawah pohon asam di sebuah tempat perbatasan Jakarta-Tangerang. Lalu 39 orang itu dibantai dengan menggunakan golok, pisau belati, dan pistol.

“Mayat-mayatnya lalu dibuang begitu saja ke sebuah parit di pinggir jalan,” tulis Menke de Groot dalam Gruwelen der Bersiap: moordpartijen op grote schaal (Kekejaman Masa Bersiap: Suatu Pembantaian Masif) seperti dicatat Najoan.

Kengerian serupa terjadi di Parijs van Java alias Bandung. R.H.A. Saleh dalam tulisannya, “Mari Bung, Rebut Kembali!”, menggambarkan peristiwa tersebut.

“Rumah-rumah keluarga Belanda dikepung di waktu malam, dan para penghuninya dibantai dan tubuhnya dilempar di kali. Dalam kamus orang-orang Belanda dengan cepat terdapat kata getjintjangd, yang artinya dicincang,” tulis Saleh sebagaimana dikutip Hendri F. Isnaeni dalam “Cincang Masa Perang” di Historia.

Ia mengisahkan, saat itu penduduk akan berteriak “Siaaap!” dan disahut dengan teriakan-teriakan yang sama oleh yang lainnya. Mereka kemudian menghambur ke luar rumah untuk menangkapi orang-orang Eropa.

“Jika orang itu berhasil ditangkap, kadang-kadang secara beramai-ramai diarak keliling kampung untuk kemudian ‘diselesaikan’ (dibunuh). Tidak peduli laki-laki atau perempuan, dewasa atau kanak-kanak, di mana saja ditemukan, mereka menjadi sasaran buruan para pemuda yang beringasan,” kisah Saleh.

Hendri juga menemukan kisah demikian di Slawi, Jawa Timur. Dalam harian Soeloeh Rakyat, 5 September 1947, polisi-sipil memberitahukan ada 17 orang Belanda dewasa dan 5 anak-anak menjadi ‘korban zaman bersiap’ pada 11 Oktober.

“Mereka dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diperintah membungkukkan diri di depan bendera merah-putih serta berpekik ‘merdeka’, dan setelah selesai ‘upacara’ itu, mereka dibunuh dengan martil dan bambu runcing. Kanak-kanak dilempar tinggi dan kemudian ditangkap dengan bambu runcing. Korban-korban itu belum semuanya mati, akan tetapi dilemparkan saja ke lobang kuburan yang sudah disediakan.”

Atas situasi itu, tidak sedikit orang-orang Belanda yang mendatangi kamp interniran. Mereka memilih untuk bertahan di sana di bawah pengawasan tentara Jepang daripada diselubungi kabut teror dan menjadi korban para pemuda ekstremis.

Teror balasan terhadap masyarakat Indonesia juga tidak bisa diabaikan. Namun secara berbeda, orang-orang Belanda melakukan teror melalui Batalyon X, bukan orang-orang misterius sebagaimana dilakukan orang Indonesia. Teror balasan terjadi ketika kekuatan militer Belanda di Indonesia yang diboncengi Sekutu sudah cukup kuat dan percaya diri.

Cribb menggambarkan aktivitas mereka terkesan main-main tapi brutal. Anggota batalyon mengendarai truk berkeliling kota seraya menyanyikan lagu-lagu Belanda sambil melepaskan tembakan liar. Setiap orang Indonesia yang kelihatan mengenakan atribut Republik akan menjadi sasaran kekerasan atau pembunuhan.

Mereka yang mengenakan lencana bendera Indonesia di bagian dada bajunya, akan dipaksa untuk menelan benda tersebut. Padahal lencana itu bukan hanya terbuat dari kain, melainkan juga ada yang dari logam potongan kaleng.

Ada pula yang dibawa ke suatu tempat untuk diinterogasi, namun tidak pernah kembali. Teror juga terjadi dalam bentuk pembakaran dan perampokan. Secara jernih dan lugas, Cribb menyebut maksud tindakan-tindakan itu adalah untuk menentang kebebasan kaum nasionalis di jalanan dengan melakukan teror serupa yang dilakukan guna membatasi Belanda.

Namun, Cribb tidak pernah menemukan adanya kamp konsentrasi untuk orang-orang Belanda atau Eropa secara umum. Sebagian mereka memang sengaja ditahan oleh kelompok nasionalis dengan alasan yang lebih baik.

“Saya belum pernah mendengar tentang kamp konsentrasi di sana (Jakarta dan sekitarnya). Tetapi di bagian lain di Jawa, orang-orang Belanda yang telah dipenjarakan Jepang kemudian menjadi tahanan orang-orang Indonesia—sebagai sandera, beberapa alasannya karena ada banyak bahaya di pedesaan,” ujar Cribb.

Di Jakarta, menurut Cribb, kekerasan dan pembunuhan itu tidak lepas dari peran kalangan kriminal. Ia mengatakan, pada masa awal revolusi, kalangan dunia kriminal di Jakarta adalah bagian penting untuk mempertahankan Republik dan membentuk gambaran sebuah negara bersatu melawan ancaman kembalinya kolonialisme.

Pada Masa Bersiap itu, memang ada koalisi antara bandit dengan kelompok muda nasionalis. Cribb menyebut peran mereka cukup penting. Bahkan koalisi yang mencapai puncak kekuasaannya sebagai Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) itu sempat menjadi salah satu gerakan bersenjata paling berpengaruh selama masa perjuangan.

Apakah bandit-bandit dan laskar-laskar pada masa teror bulan-bulan awal kemerdekaan itu terkait dengan organisasi yang ada di Indonesia saat ini?

“Politik Indonesia cenderung untuk mendorong keberadaan dari kelompok-kelompok tak resmi atau gangster, karena mereka bisa mengambil tindakan yang tak secara langsung melibatkan pihak berwenang,” tutup Cribb.

Related

Indonesia 5652384760202018934

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item