Balada Karyawan di Zaman Digital, Siang Malam Dikejar Kerja
https://www.naviri.org/2021/08/balada-karyawan-di-zaman-digital-siang.html
Naviri Magazine - Di zaman dulu, ketika kehidupan masih sederhana dibandingkan sekarang, orang-orang memiliki jam kerja yang pasti. Masuk pagi, jam delapan atau jam sembilan, lalu bekerja seharian, dan pulang kantor jam empat atau jam lima sore. Kalau pun ada pekerjaan berlebih, mereka lembur selama beberapa jam di malam hari.
Dengan adanya jam kerja yang pasti, para karyawan pun bisa membagi kehidupannya dengan jelas pula. Misal, siang untuk fokus kerja, sementara sore hingga malam untuk menikmati kehidupan personal. Yang masih lajang bisa bertemu teman-temannya, yang sudah bekerluarga bisa berkumpul dengan pasangan dan anak-anak.
Kini, ketika kehidupan makin kompleks, jam kerja juga makin kompleks. Kemajuan teknologi komunikasi memang memungkinkan sebagian karyawan untuk bekerja dari mana saja. Namun, sekalipun tempat dan waktu kerja kian fleksibel, tidak berarti hal ini dipandang sebagai angin segar seratus persen.
Ada yang menganggap aktivitas kerja dengan memanfaatkan email atau Whatsapp sebagai kendala baru untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dan personal. Pulang kerja berarti bebas tugas adalah mitos.
Kapan pun dan di mana pun, “teror” pekerjaan bisa menghampiri. Mematikan sejenak penghubung urusan kantor bisa berimbas pada menumpuknya pekerjaan pada awal minggu berikutnya. Di samping itu, ada pula kekhawatiran bila seseorang mengabaikan pekerjaan yang datang di luar jam kantor, penilaian performa kerjanya akan terdampak.
Tuntutan pekerjaan yang tidak kunjung berhenti paralel dengan bertambahnya jam kerja. Forbes mencatat, menurut survei Harvard Business School, sekitar 94 persen profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Jam kerja panjang yang dilalui karyawan seperti ini bisa mempengaruhi kehidupan relasi, kesehatan, dan kebahagiaan secara umum.
Berdasarkan survei Pew Research Center, 42 persen ayah bekerja dan 52 persen ibu bekerja di AS mengatakan mereka ingin berada di rumah saja dengan anak-anaknya, tetapi tidak bisa karena harus mencari nafkah. Akibat tuntutan kerja, 29 persen ayah pekerja dan 37 persen ibu bekerja selalu merasa terburu-buru untuk melakukan macam-macam hal.
Pekerjaan dan kesehatan
Sebagian pihak, baik karyawan maupun perusahaan, lebih menitikberatkan fokus pada kesehatan fisik dibanding psikis ketika berbicara soal keselamatan kerja. Padahal, hal ini tidak kalah signifikannya mempengaruhi kondisi individual si pekerja yang lantas berimbas pula pada capaian kantor.
Kondisi memprihatinkan soal penyeimbangan kehidupan kerja-personal yang berefek pada kesehatan mental membuat Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) mengusung isu tersebut dalam Work-Life Balance Fest.
Dalam siaran persnya, Sindikasi mengutip catatan WHO bahwa 1 dari 7 orang mengalami gangguan kesehatan jiwa di kantor. Hasil studi Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) RI juga menunjukkan, sepertiga pekerja di industri kreatif mengalami overwork dengan jam kerja lebih dari 48 jam per minggu.
Kritik terhadap sistem perusahaan maupun inisiatif negara terkait kesehatan jiwa karyawan pun dilancarkan Sindikasi. Mereka menyoroti Keputusan Presiden No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Akibat Hubungan Kerja yang menjadi dasar menentukan Penyakit Akibat Kerja (PAK). Di dalamnya hanya terdapat 31 jenis penyakit yang seluruhnya merupakan penyakit fisik.
Kategori PAK macam ini tidak sejalan dengan kategori PAK dari ILO. Pasalnya, menurut lembaga buruh internasional tersebut, gangguan jiwa dan perilaku termasuk efek pekerjaan yang tidak boleh luput diperhatikan dalam dunia profesional.