Menjadi Ibu atau Mempunyai Anak Bukan Jaminan Bahagia


Naviri Magazine - Dalam 10 tahun terakhir banyak perempuan di hemisfer bagian barat mengakui mereka ingin berkontribusi dalam menunda kehancuran bumi dengan menolak melahirkan. Populasi dunia saat ini melampaui 7,8 miliar jiwa. PBB memprediksi pada 2050 akan ada 9,7 miliar penduduk sementara berbagai sumber daya dan energi dikhawatirkan kian terbatas.

Sebuah penelitian yang dilakukan tim ilmuwan Swedia pada 2017 menyimpulkan jika setiap keluarga mempunyai satu anak lebih sedikit, maka akan ada 58,6 ton emisi gas karbon yang bisa direduksi setiap tahun.

Semakin banyak perempuan yang vokal soal pilihan personal mereka merupakan suatu pertanda norma lawas soal peran perempuan mulai goyah. Tentu saja prosesnya tidak mudah, karena nilai keluarga secara tradisional masih mengakar sangat kuat.

Pasangan yang memilih menikah tanpa memiliki keturunan masih berisiko menghadapi stigma negatif, baik di Indonesia maupun negara lain. Bagi yang tidak sanggup menjadi target tatapan aneh dan komentar buruk, mereka terpaksa mengikuti arus.

“Kesulitannya adalah masyarakat memberikan tekanan dengan keteguhan tiada henti, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi, bahwa tidak punya anak bisa membuat orang dewasa paling sejahtera sekalipun terasa seperti seseorang yang diasingkan secara sosial,” tulis Nicki Defago dalam buku Childfree and Loving It.

Perempuan yang menolak melahirkan pun dituding sebagai sosok yang egois. “Salah. Orang tua mempunyai anak karena mereka yang mau, bukannya demi kebaikan masyarakat,” tegasnya. 

Nicki melihat banyak bukti bahwa “beberapa orang tua juga bisa jadi egois”. Dia mencontohkan bapak dan ibu yang membombardir anak mereka dengan pertanyaan beruntun soal kapan menikah dan punya anak termasuk ke dalam kategori ini. Seandainya berjiwa besar, orang tua tidak akan memaksakan pilihan hidup kepada anak-anak mereka. 

Di sisi lain, masyarakat menyebarkan propaganda bahwa perempuan yang sempurna lahir dan batin adalah yang melahirkan anak mereka sendiri. Kegigihan masyarakat dalam melakukannya seperti sedang menjalankan tugas negara saja.

Sementara itu, suami-istri yang menjalani pernikahan tanpa anak sendiri tidak pernah ambil pusing soal pilihan pasangan lain. Hanya karena perempuan secara biologis mampu mengandung dan melahirkan, bukan berarti mereka harus melakukannya.

“Orang-orang yang childfree tidak butuh mempertanyakan orang tua secara terus-menerus—fakta bahwa mereka punya anak bukan menjadi masalah untuk kami,” tulis Nicki. “Betapa tidak sopannya saya jika bertanya ‘Kamu punya anak? Kamu sangat tersesat!’. Tapi ini selalu terjadi sebaliknya.”

Sikap egois

Memposisikan anak sebagai asuransi hidup bukan konsep asing di Indonesia. Banyak pasangan memutuskan menjadi orang tua, salah satunya agar ada yang bisa menemani dan merawat mereka ketika menginjak usia senja. 

Artinya, anak yang tidak memilih untuk dilahirkan malah dibebani tanggung jawab dari sisi tenaga, waktu dan uang. Mentalitas macam ini bisa dikategorikan sebagai sikap egois dari orang tua.

Perempuan-perempuan yang teguh menempuh jalur childfree dalam pernikahan mereka sesungguhnya sudah sadar menjadi ibu bukan sesuatu yang gampang. Ada serangkaian ekspektasi yang menanti, dan jika gagal memenuhi, mereka akan dianugerahi gelar sebagai ibu yang buruk.

Kehati-hatian mereka tidak lantas menghentikan masyarakat umum dalam memberikan tekanan agar bereproduksi tanpa memikirkan kemungkinan lain: penyesalan menjadi ibu. Orna Donath, sosiolog asal Israel mendedikasikan satu buku khusus untuk membahas tentang isu tersebut. 

“Karena menjadi ibu berada di barisan hal-hal yang bersifat alamiah, tidak terpikirkan bahwa perempuan bisa menyesal menjadi ibu. Tetapi perasaan ini nyata dan memancing reaksi-reaksi sangat buruk, pertama di kalangan perempuan sendiri, tapi juga di antara lingkungan keluarga mereka dan di masyarakat,” tulis Orna dalam bukunya, Regretting Motherhood.

Orna sendiri ingin masyarakat membedakan antara rasa ragu dan kecewa begitu seorang perempuan melakoni peran sebagai ibu. Dua-duanya adalah perasaan yang valid, tapi melihatnya sebagai sebuah kesamaan justru merugikan perempuan yang memang menyesal. Padahal, ini persoalan serius.

“Menyamakan keraguan dan kekecewaan, memperlakukan keduanya seolah sesuatu yang sama, menghapus kemungkinan untuk mendengarkan apa yang mau dikatakan para perempuan yang meratapi posisi sebagai ibu,” tulisnya. 

Mereka mengalami tekanan tiada henti untuk menjadi sosok sempurna. Mereka pun khawatir mengungkapkan kekecewaan secara terbuka akan menempatkan diri mereka sebagai ibu yang buruk. Ini lantaran masyarakat tidak mengizinkan kita berpikir bahwa melahirkan dan membesarkan anak bisa jadi pengalaman negatif.

Hanya saja, yang perlu digarisbawahi, ada pula para ibu yang meski menyesal, tetap berusaha menyayangi buah hati mereka. Oran melihat masalah ini bukan sebagai hitam dan putih, tetapi bahwa banyak ibu merasa sendirian dalam menghadapi dilema soal perasaan mereka adalah sebuah realita.

Related

Psychology 6970153029812448455

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item