Misteri dan Mitos Gerhana dalam Kehidupan Orang Jawa: Bumi Gelap karena Batara Kala (Bagian 1)


Naviri Magazine - Gerhana bulan atau gerhana matahari adalah fenomena alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Di masa kini, ketika ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju, dan orang bisa mengakses berita terkini dengan mudah, fenomena gerhana bulan atau gerhana matahari pun bisa dengan mudah pula dipahami. Bahwa gerhana tersebut terjadi karena fenomena alam biasa.

Namun, berbeda dengan zaman dulu. Di masa lalu, ketika ilmu pengetahuan masih terbatas, dan akses masyarakat terhadap pengetahuan sama terbatas, fenomena gerhana bulan atau gerhana matahari tidak dipandang dengan ilmu pengetahuan, melainkan dengan kepercayaan atau keyakinan. Dari situlah kemudian muncul mitos terkait gerhana bulan atau gerhana matahari, khususnya di kalangan masyarakat Jawa.

Kedaulatan Rakyat edisi 1983 menceritakan seorang lelaki bernama Sumarsono, yang sangat meyakini bahwa gerhana bulan yang terjadi di masa itu bukan sekadar fenomena alam. 

Penarik becak asal Demak yang sehari-hari mengais nasib di Semarang ini percaya, gerhana terjadi lantaran ulah Batara Kala, dan menjadi ancaman bagi semesta termasuk umat manusia. Bumi gelap-gulita karena raksasa menakutkan itu menelan matahari atau bulan. Begitu keyakinan Sumarsono.

"Saya akan pulang menyelamatkan tanaman, sebab bila tidak, berarti sumber sandang, pangan bagi istri dan anak akan habis," ucap Sumarsono.

Apa yang ditakutkan Sumarsono datang beberapa hari berselang. Keanehan terjadi pada 11 Juni 1983. Menjelang tengah hari, pada siang bolong, tepatnya jam 11.29 WIB, mentari yang semula bersinar terik tiba-tiba lenyap. Seisi langit pun gelap, hitam, pekat.

Sumarsono panik. Namun, ia harus turut membantu warga sekampungnya mengusir Batara Kala agar mentari bersinar lagi. Caranya, mereka beramai-ramai membuat keributan dengan memukul lesung, kentongan, peralatan dapur, dan sejenisnya, supaya raksasa jahat itu memuntahkan matahari yang telah ditelannya.

Sekitar 5 menit kemudian, sang surya perlahan-lahan muncul. Langit pun terang-benderang seperti sedia-kala. Sumarsono dan orang-orang desa lainnya merasa lega, berucap syukur karena upaya Batara Kala kali ini bisa digagalkan.

Gara-gara Batara Kala

Gerhana matahari total yang terjadi pada siang tanggal 11 Juni 1983 memang memantik kepanikan. Terlebih lagi, pemerintah Orde Baru saat itu bereaksi serius dalam menyongsong terjadinya fenomena alam ini.

Pemerintah bahkan membentuk Panitia Nasional Gerhana Matahari sejak jauh-jauh jari. Panitia ini terdiri dari berbagai lembaga ilmiah maupun instansi resmi, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Kesehatan, Departemen Penerangan, dan seterusnya. 

Seperti dikutip dari buku Indonesia dan Masalah-masalah Pembangunan karya Budhy Munawar Rachman dan ?F.X. Baskara, melalui siaran radio, televisi, surat kabar, dan lainnya, pemerintah secara masif berulang kali memperingatkan kepada warga untuk tidak keluar rumah. Jika nekat melihat gerhana, mata bisa buta.

Apapun yang dikatakan pemerintahan Soeharto kala itu memang sangat berpengaruh dan ditaati oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Suasana mencekam pun berlangsung selama langit mendadak menjadi gelap pada siang hari tersebut.

Ketakutan warga kian besar karena mitos-mitos terkait gerhana masih sangat diyakini masyarakat, baik di Jawa maupun di daerah-daerah lainnya di Indonesia, dengan kisah atau keyakinan lokal yang tidak selalu sama.

Bagi sebagian orang Jawa, termasuk Sumarsono, Batara Kala adalah biang keladi terjadinya gerhana matahari maupun bulan. Batara Kala disebut juga dengan nama Kala Rahu (Kala Rau). Sosok ini dipercaya sebagai putra dewa tetapi berwujud raksasa akibat terkena kutukan.

Dalam mitologi Jawa dikisahkan, Batara Kala menaruh dendam terhadap Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Soma (Dewa Bulan), terkadang muncul pula nama Dewi Ratih atau Dewi Bulan. 

Batara Kala, yang menyaru menjadi dewa, ikut meminum tirta amerta alias air abadi bersama para dewa lainnya. Baru minum seteguk, penyamaran Kala diketahui oleh Surya dan Soma (atau Dewi Ratih), yang segera melaporkannya kepada Dewa Wisnu, salah satu dewa tertinggi.

Akibatnya, Kala murka dan terus berupaya mengejar Surya, Soma, atau Ratih. Setiap kali tertangkap, Kala akan memakan mereka sehingga langit menjadi gelap-gulita. Begitulah terjadinya gerhana versi mitologi Jawa.

Batara Kala diwujudkan dalam bentuk raksasa yang hanya memiliki kepala hingga leher saja. Itu karena hukuman Dewa Wisnu yang menebas leher Kala dengan senjata cakra. Maka, gerhana jarang berlangsung lama. Matahari atau bulan yang ditelan Kala akan keluar lagi lewat leher bagian bawah yang sudah terpotong.

Dikisahkan pula dalam mitologi Jawa, bagian setengah leher ke bawah Batara Kala berubah menjadi lesung (tempat menumbuk padi). Maka, ketika terjadi gerhana, orang-orang beramai-ramai memukuli lesung, juga membuat kebisingan dengan berbagai cara, agar Kala memuntahkan matahari atau bulan yang dimakannya.

Baca lanjutannya: Misteri dan Mitos Gerhana dalam Kehidupan Orang Jawa: Bumi Gelap karena Batara Kala (Bagian 2)

Related

Mistery 843263187421791168

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item