Misteri dan Mitos Gerhana dalam Kehidupan Orang Jawa: Bumi Gelap karena Batara Kala (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Misteri dan Mitos Gerhana dalam Kehidupan Orang Jawa: Bumi Gelap karena Batara Kala - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Mitos Jawa Seputar Gerhana

Masih berkaitan dengan Batara Kala atau Kala Rahu, muncul berbagai mitos dalam kepercayaan sebagian orang Jawa seputar gerhana matahari atau bulan. Salah satunya, seperti yang diungkapkan oleh Sumarsono, yakni bahwa ia harus segera pulang untuk menyelamatkan sumber penghidupannya di desa.

Sawah atau lahan pertanian, dalam kepercayaan orang Jawa zaman dulu, harus disirami air selama gerhana terjadi agar tidak rusak dan gagal panen. Jika punya kebun yang menghasilkan bahan pangan, seperti pohon-pohon buah, harus dipukul-pukul batangnya supaya selamat dari terjangan murka Batara Kala.

Hewan-hewan ternak juga harus dijaga jangan sampai tertidur selama gerhana berlangsung dengan cara dicambuk-cambuk pelan dengan dahan pohon. Jika tidak, hewan-hewan yang merupakan aset kehidupan itu terancam mati setelah gerhana usai. Begitulah mitosnya.

Selain itu, selama langit gelap karena gerhana, setiap orang wajib terus terjaga, tidak boleh tidur. Ini mengacu kepada ungkapan Jawa yakni sopo sing leno bakale keno (siapapun yang terlena pasti terkena). Artinya, setiap orang harus waspada jika tidak ingin terpapar dampak gerhana.

Bagi perempuan yang sedang mengandung, sebagian orang Jawa meyakini gerhana dapat berakibat fatal. Janin dikhawatirkan lahir tidak sempurna, seperti kisah yang diungkap Dr. Hendrawan Nadesul dalam buku Dari Balik Kamar Praktik Dokter. Sang calon ibu bahkan bisa saja meninggal dunia apabila tidak diselamatkan dengan melakukan ritual.

Maka, menurut kepercayaan, wanita hamil harus diungsikan ke tempat yang dianggap aman, misalnya masuk ke kolong tempat tidur. Sementara itu, dilakukan ritual sego rogoh atau tradisi liwetan, yaitu memasak nasi beserta lauknya kemudian disantap beramai-ramai. Tradisi ini masih kerap diterapkan hingga kini di beberapa desa di Jawa.

Leluhur Justru Tak Gentar

Leluhur orang Jawa sendiri sejatinya tidak terlalu mencemaskan gerhana. Beberapa kali peristiwa penting dalam sejarah justru kebetulan terjadi bersamaan dengan hadirnya fenomena alam itu dan disikapi dengan wajar-wajar saja tanpa kepanikan yang berlebihan. 

Peneliti sejarah, Suwardono, dikutip dari Media Indonesia, mencontohkan, Mpu Sindok (raja pertama Medang dari Dinasti Mataram Kuno) tetap mengesahkan Prasasti Turyan di Malang saat terjadi gerhana matahari pada 24 Juli 929 Masehi. Peresmian ini juga tercatat dalam buku 3 Prasasti Batu Zaman Raja Sindok terbitan Museum Nasional Indonesia.

Sikap serupa ditunjukkan Wisnuwardana, Raja Singhasari periode 1248-1268, ketika meresmikan Prasasti Mulamalurung. Prasasti tersebut disahkan tepat ketika gerhana bulan terjadi pada 1177 Saka atau tahun 1254 Masehi. Dalam prasasti itu, tercatat nama Syiwa. Dewa Syiwa adalah salah satu dewa tertinggi dalam ajaran Hindu –selain Brahma dan Wisnu– juga ayahanda Batara Kala yang kerap dikait-kaitkan dengan gerhana.

Masih ada lagi, yakni Prasasti Sucen yang berangka tahun 765 Saka atau 843 Masehi. Prasati yang ditemukan di Kedu (Jawa Tengah) atau bekas pusat Kerajaan Mataram Kuno ini juga diresmikan saat gerhana bulan. Bahkan, menurut penelitian Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia seperti dikutip dari situs Bentara Budaya, Prasasti Sucen diyakini sebagai catatan tertua tentang gerhana bulan di tanah Jawa.

Negarakertagama, naskah kuno yang kerap menjadi rujukan untuk melacak sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, terutama Majapahit, selesai ditulis tepat ketika terjadi gerhana bulan. Mpu Prapanca merampungkan kitab ini antara September-Oktober 1365 Masehi atau 1287 Saka.

Raja-raja Jawa, sebagaimana pemerintah dalam konteks negara modern, punya perhitungan dan perkiraan yang lebih matang dalam menyikapi fenomena alam yang memang memperoleh tempat dan makna khusus dalam kosmologi Jawa, termasuk gerhana bulan atau matahari.  

Kendati kalangan istana cenderung bersikap wajar ketika terjadi gejala alam, akan tetapi tidak bagi kaum akar rumput. Rakyat kebanyakan seringkali menanggapi kejadian-kejadian seperti ini dengan kepanikan. Itu bisa saja karena intrik politik yang sengaja dilakukan penguasa demi kepentingan tertentu, seperti halnya yang pernah diterapkan pemerintahan Soeharto saat gerhana matahari total pada 1983 silam. 

Related

Mistery 3943280124446431260

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item