Perjalanan Film Horor, dari Masa Perang Dunia sampai Pandemi Corona (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Perjalanan Film Horor, dari Masa Perang Dunia sampai Pandemi Corona - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kembali ke studi NCBI, para penggemar subgenre prepper seperti The Andromeda Strain disebut-sebut lebih siap mentalnya dalam menghadapi pandemi, meski para penggemar subgenre ini kurang memiliki pandangan positif atas situasi yang tengah berlangsung. 

Hal ini menguatkan hipotesa studi tersebut bahwa selama pandemi, publik mencari cerita-cerita yang dapat membuat mereka lebih siap menghadapi segala ketidakmungkinan dalam kehidupan nyata.

Sepanjang sejarah, seperti yang diuraikan James Kendrick, profesor Kajian Media Universitas Baylor dalam “Horror Films Have Always Tapped Into Pop Culture's Most Urgent Fears. COVID-19 Will Be Their Next Inspiration”, film “horor selalu menjadi genre yang mudah dan cekatan menyelaraskan diri dengan kondisi keterpurukan sosial masyarakat karena [genre ini] mengacu pada apa yang kita takuti, dan apa yang kita takutkan berubah dari zaman ke zaman,” katanya.

“Ketakutan dasar manusia memang tetap sama, tetapi elemen spesifik dari apa yang kita takutkan mengalami pasang dan surut pada waktu-waktu yang berbeda,” ujar Kendrick.

Situasi ketidakpastian ekonomi setelah Perang Dunia I, misalnya, melahirkan Nosferatu (1922), Dracula (1930), dan Frankenstein (1931). Film-film horor pada era ini mengangkat kekuatan supernatural di luar kontrol manusia sebagai metafor kerentanan ekonomi yang mereka hadapi saat itu. 

Setelah Perang Dunia II, film-film horor monster dan supernatural seperti Mothra, Jigoku, dan Godzilla juga bermunculan di pasar Jepang yang ekonominya terpuruk dan mengalami trauma berkepanjangan akibat bom atom. Subgenre horor prepper pun muncul dari situasi yang sama: kerentanan ekonomi dunia, krisis lingkungan, dan cuaca politik yang semakin sulit diprediksi.

Sebagaimana dilansir dari Variety, saking tingginya minat publik horor prepper, Paramount dan Amazon Prime berani mengeluarkan bujet 200 juta dolar AS untuk memproduksi The Tomorrow War (2021). Film yang sarat CGI berkualitas ini terpaksa didistribusikan dalam kualitas HDR yang kurang mumpuni agar mampu dinikmati siapapun di rumah via internet. 

The Tomorrow War bercerita tentang manusia yang datang dari tahun 2051 untuk merekrut orang-orang yang hidup di masa kini. Rekrutmen itu diadakan untuk melawan invasi alien yang telah membuat manusia hampir punah di masa depan. 

Film ini akhirnya menuai banyak review negatif dengan skor 53% di Rotten Tomatoes karena dianggap sekadar hasil kolase enteng-entengan dari film-film alien sebelumnya, sebagaimana dikemukakan Sudbury.

Amazon tetap total menggenjot promosi, mulai dari memajang truk berisi animatronik alien di Tokyo, yang viral di TikTok, hingga menggaet provider-provider seperti Indosat untuk mengiklankannya via SMS di Indonesia.

Dapat diprediksi film horor yang diproduksi sejak 2020 akan terus merefleksikan berbagai ketakutan yang kita hadapi selama pandemi, mulai dari ketidakjelasan nasib, isolasi, hingga berakhirnya kehidupan “normal”.

Perubahan Produksi

Pandemi juga mengubah produksi film. Lihat saja Host (2020) yang tayang di streaming Shudder. Film ini mengisahkan sekelompok teman yang sedang melakukan video-call dan diganggu oleh makhluk supernatural. Host diproduksi seutuhnya melalui remote filming. Selama syuting, kru dan aktor tidak bertemu secara langsung alih-alih memanfaatkan rekaman video call.

Belakangan juga muncul skema remote development. Dalam skema ini, segala aktivitas pembuatan film sebelum syuting—mulai dari penulisan naskah hingga pembuatan storyboard—dilakukan tanpa pertemuan fisik. Remote editing juga mulai banyak dilirik. Proses ini memungkinkan shot-shot yang ada disatukan, diatur warnanya, dan ditambahi musik latar dari jauh.

Subgenre ecological horror sendiri terlihat menarik dari segi produksi karena latar tempatnya dapat diposisikan di ruang terbuka, dengan sedikit kru dan pemain. Contohnya Gaia (2021), keluaran XYZ Films yang mengambil latar hutan di mana deforestasi besar-besaran membuat manusia menemukan sebuah spesies jamur baru. 

Spesies yang tadinya hidup nyaman di tengah hutan tanpa gangguan manusia kini menyebar luas menjadi parasit. Manusia yang terinfeksi akhirnya menjadi zombie haus darah. Premis Gaia sebenarnya mirip dengan videogame Last of Us (2013) yang diadaptasi oleh HBO menjadi sebuah serial.

Related

Film 3952082881072335573

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item