Sejarah dan Kisah Berdarah Pangeran Sambernyawa (Bagian 1)


Naviri Magazine - Bahkan julukannya saja sudah mampu membuat bergidik: Pangeran Sambernyawa. Kenyataannya, sosok pangeran asal Jawa ini memang beringas dan tidak mengenal takut. Sejak masih muda, dia telah akrab dengan konflik dan peperangan. 

Ketika dewasa, ia bahkan melawan tiga musuh sekaligus: VOC (Belanda), Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Sepak-terjangnya susah dihentikan dan justru mengakibatkan banyak korban dari pihak lawan. Dari situlah ia dijuluki Pangeran Sambernyawa.

Nama aslinya Raden Mas Said, lahir di Keraton Kartasura (dekat Surakarta) pada 7 April 1725. Ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara, merupakan putra sulung Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726. Said bersaudara dengan Pangeran Prabasuyasa atau Pakubuwana.

Seharusnya, Arya Mangkunegara paling berhak mewarisi takhta Mataram/Kartasura, bukan Prabasuyasa. Namun, lantaran selalu menentang Belanda, ia diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. Prabasuyasa lalu dinobatkan sebagai penguasa Mataram selanjutnya, dengan gelar Pakubuwana II.

Saat Arya Mangkunegara dibuang ke Srilanka oleh VOC, Said baru berusia 2 tahun. Atas dasar inilah, Said mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, melanjutkan cita-cita sekaligus menuntaskan dendam ayahnya.

Kelak, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa mendirikan keraton baru di Surakarta. Ia menyandang gelar Mangkunegara I, memakai nama sang ayah.

Membantu Tionghoa Melawan VOC

Pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa oleh Belanda di Batavia pada 1740 ternyata berdampak sampai ke Jawa. Banyak orang keturunan Cina yang melarikan diri agar selamat. Tak hanya itu, komunitas Cina di berbagai daerah pun turut mengangkat senjata, melakukan perlawanan terhadap VOC, termasuk di Jawa Tengah.

Pemberontakan laskar Cina di Kartasura terjadi pada 30 Juni 1742. Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning tampil sebagai pemimpin aksi ini. Raden Mas Garendi adalah cucu penguasa Kartasura periode 1702-1705, Amangkurat III.

Kala itu, Kartasura berada di bawah pimpinan Pakubuwana II. Said, yang masih berusia 19 tahun, bergabung dengan Garendi beserta orang-orang Cina untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap VOC dan keraton. PB II terdesak dan menyelamatkan diri ke Ponorogo, Jawa Timur. Peristiwa ini dikenal dengan nama Geger Pacinan.

Ketika PB II kembali ke Kartasura pada November 1743, ia mendapati istananya hancur akibat serangan kaum “pemberontak” dalam Geger Pacinan tersebut. Maka, PB II membangun keraton baru di Surakarta atas bantuan VOC. Sejak saat itu, pusat peradaban Mataram pindah dan berganti nama menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Di sisi lain, hubungan antara Garendi dan Said semakin erat karena berada dalam satu nafas perjuangan yang sama. Garendi—yang oleh para pengikutnya diangkat sebagai Amangkurat V—bertahan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, dan tidak mau menduduki singgasana istana.

Dalam Pangeran Sambernyowo (KGPAA Mangkunagoro I): Ringkasan Sejarah Perjuangannya (1989) disebutkan, Raden Mas Said dan prajuritnya melebur dengan pasukan Amangkurat V (hlm. 25). Said kemudian diangkat sebagai panglima perang. Kekuatan gabungan ini mengobarkan perlawanan terhadap PB II yang dibantu Belanda.

Bersama Mangkubumi Menghadapi PB II

Pada akhirnya, Amangkurat V dapat ditangkap oleh VOC dan pasukan Pakubuwana II dengan bantuan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura. VOC meminta agar Amangkurat V dihukum mati. Namun, Pakubuwana II menolak dan memutuskan kerabatnya itu diasingkan ke Ponorogo.

Sementara itu, Said berhasil selamat dari penyerbuan. Sepeninggal Amangkurat V, ia memperoleh mitra baru, yakni Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah saudara kandung PB II.

Mangkubumi, yang merasa berhak atas takhta Mataram, sempat pergi ke Semarang untuk meminta kepada Belanda agar dirinya diangkat sebagai raja, namun ditolak. Penolakan tersebut membuat Mangkubumi kesal, dan berniat meruntuhkan tahta PB II. Kebetulan, Raden Mas Said juga punya tujuan yang sama: melawan PB II dan VOC.

Said dan Mangkubumi menyingkir ke sebelah barat Surakarta, di kawasan pedalaman yang kini dikenal dengan nama Yogyakarta. Di tempat baru itu, mereka mengobarkan perlawanan terhadap PB II dan VOC dengan cara gerilya. Untuk mempererat hubungan, Said dinikahkan dengan putri Mangkubumi, Raden Ayu Inten.

Pasukan gabungan Said dan Mangkubumi benar-benar membuat Surakarta kewalahan. Hingga akhirnya, PB II wafat pada 20 Desember 1749 karena sakit parah. Sebelum mangkat, PB II dipaksa menyerahkan takhta Surakarta kepada VOC.

Kabar Pakubuwana II sakit keras dimanfaatkan betul oleh Pangeran Mangkubumi. Pada 12 Desember 1749, hanya beberapa hari sebelum PB II wafat, Mangkubumi mengklaim dirinya sebagai raja Mataram di Yogyakarta dengan gelar Pakubuwana III. 

Baca lanjutannya: Sejarah dan Kisah Berdarah Pangeran Sambernyawa (Bagian 2) 

Related

History 8240312646942211261

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item