Sejarah dan Kisah Berdarah Pangeran Sambernyawa (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah dan Kisah Berdarah Pangeran Sambernyawa - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Penobatan ini didukung penuh oleh Said, yang lantas diangkat sebagai panglima perang sekaligus mahapatih oleh Mangkubumi. Tapi, pemerintahan di Yogyakarta tidak diakui VOC. Mereka menunjuk putra PB II, Raden Mas Suryadi, sebagai penerus tahta Mataram di Surakarta dengan gelar Pakubuwana III. PB III adalah penguasa Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.

Dengan demikian, ada dua Pakubuwana III pada saat itu, yakni Mangkubumi di Yogyakarta dan Raden Mas Suryadi di Surakarta. Mangkubumi nantinya mengubah gelarnya menjadi Hamengkubuwana (HB) I.

Dikeroyok VOC, PB III, dan HB I

Mangkubumi dan Said terus melakukan perlawanan terhadap VOC dan PB III selama beberapa tahun. Ribuan prajurit Belanda tewas akibat ulah pasukan dari Yogyakarta ini. VOC pun kemudian mencari cara agar kekuatan Mangkubumi dan Raden Mas Said bisa dipatahkan, dengan jalan devide et impera atau politik pecah-belah.

VOC menyusupkan seorang kerabat keraton bernama Tumenggung Sujanapura ke kubu lawan. Sujanapura berkata kepada Raden Mas Said bahwa sebenarnya Mangkubumi tidak suka kepadanya dan khawatir dikhianati. Atas hasutan ini, Said bimbang dan akhirnya memisahkan diri dari pasukan Mangkubumi.

Raden Mas Said merasa keputusannya tepat, terlebih ketika Mangkubumi menyepakati perundingan dengan VOC yang melahirkan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Isinya adalah Mangkubumi memperoleh separuh wilayah kekuasaan PB III dan diakui sebagai penguasa Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwana I. Sejak saat inilah, Kasultanan Yogyakarta resmi berdiri.

Dengan Perjanjian Giyanti, Said kini berjuang sendirian, dikeroyok tiga kekuatan besar: VOC; PB III di Surakarta; serta mantan sekutu, paman, sekaligus mertuanya sendiri, HB I di Yogyakarta. Said memang sangat menentang Perjanjian Giyanti yang dianggapnya telah memecah-belah kepemimpinan di Jawa.

Namun, Raden Mas Said pantang menyerah dan terus-menerus melakukan perlawanan. Sepak-terjangnya yang mengerikan ini membuat Nicolaas Hartingh, Gubernur VOC untuk wilayah pesisir utara Jawa, menjulukinya sebagai Pangeran Sambernyawa.

Akhir Aksi Pangeran Sambernyawa

Setidaknya ada tiga pertempuran besar yang dilakoni Said dan pasukannya dalam periode itu. Pertama, di Desa Kasatriyan dekat Ponorogo pada 1752 menghadapi pasukan gabungan VOC, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta.

Babad Lelampahan, seperti dikutip dari Sambernyawa Menggugat Indonesia (2011) yang disusun Soerjo Soedibjo Mangkoehadiningrat, menyebut, dari pihak Said hanya kehilangan nyawa 3 orang, sedangkan 29 orang lainnya luka-luka. Dari kubu musuh, sebanyak 600 orang tewas.

Kedua, pasukan Said berhasil mengalahkan tentara VOC pimpinan Kapten van der Pol di hutan Sitakepyak, selatan Rembang, pada 1756. Ribuan prajurit bantuan yang dikirimkan HB I dari Yogyakarta juga dapat dipukul mundur. Kapten Pol bahkan tewas, kepalanya ditebas oleh Said.

Pertempuran besar ketiga terjadi setahun kemudian. Said memimpin pasukannya menyerbu Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan mengakibatkan kerugian besar bagi VOC dan Sultan HB I. 

Akibat serangan itu, HB I menjanjikan hadiah uang sebesar 500 real dan jabatan bupati kepada siapa saja yang berhasil menangkap Said. VOC bahkan siap memberikan uang sebesar 1.000 real asal Said dapat dibunuh.

Lantaran tidak ada seorang pun yang mampu menunaikan sayembara tersebut, VOC mendesak kepada PB III dan HB I untuk membujuk Said melakukan perundingan. Said ternyata bersedia. Maka digelarlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.

PB III memperlakukan Said dengan sangat baik dalam pertemuan itu, begitu pula utusan HB I maupun VOC. Hasil Perjanjian Salatiga inilah yang mengakhiri pertikaian antar trah Mataram di tanah Jawa. Said mendapatkan konsesi berupa wilayah khusus yang akan dipimpinnya. 

Sejak saat itulah muncul kerajaan ke-3, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang hidup berdampingan dengan Kasunanan Surakarta serta Kesultanan Yogyakarta. Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, yang menggelari dirinya dengan Mangkunegara I, akhirnya bisa ditenangkan. 

Ia diakui Belanda sebagai salah satu dari tiga raja di jantung peradaban Jawa, meski sebenarnya posisi Mangkunegara berada di bawah dua raja lain. Mangkunegara tidak diperkenankan menyematkan gelar setingkat raja seperti sunan atau sultan, ia tetap bergelar pangeran. Wilayah kekuasaannya pun bukan kerajaan, tapi setingkat kadipaten atau keharyapatihan.

Mangkunegara I meninggal dunia di Surakarta pada 23 Desember 1795, dalam usia 70 tahun. Pemerintah Republik Indonesia memberinya gelar Pahlawan Nasional dan menyematkan anugerah Bintang Mahaputra pada 1983.

Related

History 4387124066321092848

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item