Kisah, Fakta, dan Pesan Tersembunyi di Balik Film-film Godzilla (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah, Fakta, dan Pesan Tersembunyi di Balik Film-film Godzilla - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dari banyak sisi, Godzilla vs Hedorah masih konsisten dengan segala ciri waralaba ini: banyak adegan manusia dewasa bergulat menggunakan kostum monster, ada perang laser serampangan, dan tentunya efek komedi yang tampaknya memang disengaja, imbas kombinasi film monster raksasa dan anggaran rendah. Namun secara gaya dan tema, interpretasi Banno akan Godzilla juga bisa dibilang unik.

Film ini diciptakan dengan latar belakang Jepang di 1970. Dan, sama seperti AS, efek dari flower generation telah mendatangkan hedonisme dan optimisme naif yang kerap dibawa kaum hippies.

"Ada semacam gerakan aktivis lingkungan yang mulai naik di Jepang di awal 1970-an," jelas Tsutsui. "Ada semacam protes ala California dan sentuhan psikedelik hippie dalam gerakan tersebut, tapi di Jepang isu lingkungan lebih terasa seperti gerakan warga karena ini menjadi isu sipil yang besar."

Setengah film ini menampilkan sebuah klub rock Jepang, di mana anak tertua Yano sibuk menikmati halusinasi psikedelik sementara Hedorah mengambil alih kota. Monster polusi ini akhirnya menyambangi klub tersebut dan mengakhiri pesta mereka. Yano dan murid-muridnya memutuskan untuk mengambil aksi dan memulai "demo satu juta orang" melawan monster polusi tersebut.

Biarpun penuh dengan intensi baik, demo tersebut tidak terlalu diminati dan justru berubah menjadi pesta joged lainnya. Satir Banno di sini memiliki target dan pesan yang jelas—kelemahan aktivis lingkungan yang secara naif mempercayai bahwa kerusakan akibat polusi industrial bisa dilawan hanya dengan demonstrasi dan perayaan api unggun."

Pengaruh psikedelik di era tersebut juga terasa di sepanjang film yang menampilkan banyak sekuens animasi aneh dan trippy. Salah satu adegan tersebut menunjukkan berbagai objek langit seperti nebula dan galaksi sementara sebuah suara berujar tentang luasnya alam semesta. Adegan lainnya menunjukkan dua orang perempuan yang berjalan mengenakan masker gas.

"Banno adalah sosok yang sangat kreatif dan saya sangat mengaguminya untuk itu," ujar Tsutsui. "Kalau ada film Godzilla yang bisa dibilang bernuansa indie, ya Hedorah jawabannya."

Film ini sesungguhnya adalah bentuk reaksi Banno terhadap isu asap dan polusi industrial yang menjangkiti kota-kota seperti Yokkaichi, di mana para penduduknya terkena "asma Yokkaichi" akibat terus-terusan menghirup udara penuh polusi.

Sesaat sebelum Banno mulai memfilmkan Godzilla vs Hedorah di 1970, Jepang menjadi tuan rumah World Expo di Osaka. Expo tersebut menampilkan sebuah paviliun yang dideskripsikan oleh New York Times sebagai "penekanan akan praktisnya teknologi modern" dengan cara menunjukkan visi kota masa depan di mana penduduknya hidup secara harmonis dengan alam sekitar. 

Sebagai bagian dari pameran ini, Banno membantu Tomoyuki Tanaka, produser Studio Toho, menciptakan elemen visual paviliun. Tapi ia resah dan terganggu kondisi paviliun yang begitu jauh berjarak dengan realita kehidupan nyata di Jepang.

"Di Expo, kami menciptakan paviliun, memamerkan semua teknologi baru yang digadang akan membawa masa depan yang lebih cerah. Tapi realitanya, situasi Jepang saat itu sangat parah," jelas Banno di sebuah wawancara dengan SciFi Japan. 

"Semua limbah dari pabrik telah menciptakan situasi yang buruk. Kami tidak tahu seberapa jauh isu polusi akan bertambah, mengingat banyaknya jumlah kotoran yang manusia ciptakan sendiri."

Pada 1970, Jepang sedang bertarung melawan polusi yang parah, bisa terlihat sebagai awan kabut hitam menutupi kota-kota dan cairan kimia industrial yang dibuang ke laut telah menciptakan "Laut Kematian" di Teluk Dokai di utara Jepang, yang kehilangan semua bentuk kehidupan laut akibat limbah-limbah ini. 

Ketika dampak negatif dari polusi ini mulai mempengaruhi kesehatan penduduk Jepang dan menimbulkan banyak protes, pemerintah Jepang mengambil langkah drastis untuk membendung polusi. Dikenal sebagai Pollution Diet (Diet adalah legislatif nasional di Jepang), pemerintah Jepang mengesahkan 14 hukum yang mengambil pendekatan keras terhadap polusi industrial.

Hukum Pollution Diet ini bisa dibilang lumayan ekstrem, bahkan untuk standar peradaban manusia saat ini. Para pembuat hukum mengabaikan sebuah klausul dari Hukum Kontrol Polusi Dasar sebelumnya yang mengatakan regulasi polusi harus selaras dengan ekonomi, karena takut warga akan melihat ini sebagai bentuk dukungan terhadap ekonomi di atas lingkungan. 

Mereka mengesahkan mekanisme kontrol polusi nasional yang berkuasa di atas aturan lokal lainnya, dan menerapkan regulasi yang ketat terhadap sektor industri serta melarang total kontaminasi udara dan air.

"Dalam satu dua tahun, semua asap berubah warna dari hitam menjadi putih karena permintaan akan perangkat desulfurisasi meningkat tajam," ingat Banno. "Dikabarkan waktu itu bahwa Jepang telah menangani masalah polusinya, tapi polusi lautan dengan PCB dan plastik masih berlanjut hingga hari ini."

Yoshimitsu Banno meninggal di umur 86 tahun di Kawasaki, Jepang. Sutradara yang tak kenal kompromi ini sempat menyimpan ambisi untuk membuat sekuel Godzilla vs Hedorah. Dalam beberapa tahun terakhir, ada rumor bahwa monster polusi akan di rehabilitasi untuk sebuah remake Hollywood. 

Biarpun mimpi Banno tidak pernah menjadi kenyataan, dia sempat memainkan peran penting membawa kisah teror Tokyo kembali ke layar besar di 2014 lewat film blockbuster Hollywood, Godzilla, dan menjadi mediator antara Studio Toho dan Legendary Pictures.

Biarpun tentunya Jepang belum bersih total dari polusi lingkungan, kini kota-kota di Jepang merupakan salah satu tempat dengan tingkat polusi terendah di dunia. Ini sebagian disebabkan oleh tindakan konkrit yang diambil pemerintah Jepang melawan polusi industri 50 tahun yang lalu, dan ditekankan kembali oleh film unik Banno, Godzilla vs Hedorah. 

Di luar semua kekonyolan dan adegan laga yang murahan, inti dari film ini adalah pesan radikal yang masih relevan hingga hari ini: satu-satunya cara nyata untuk melawan perubahan iklim adalah dengan menyingkirkan isu utamanya—kepuasan diri.

"Bagi banyak orang di jepang, semua orang tahu polusi adalah isu besar dalam masyarakat, tapi tidak ada yang mau mengangkatnya," jelas Tsutsui. "Tapi ketika sebuah monster polusi raksasa menghancurkan kota Tokyo, semua orang harus melakukan sesuatu. Di titik itu, kita tidak bisa lagi mengabaikan masalah."

Related

Entertainment 3547384431455698121

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item