Biografi Henry Kissinger, Tokoh Penting Amerika Serikat (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Biografi Henry Kissinger, Tokoh Penting Amerika Serikat - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Setelah bertahun-tahun melanglang buana, Henry akhirnya kembali ke New York sebagai cendekiawan muda dan cemerlang yang diperbantukan dalam Council on Foreign Relations. Ia bergabung dalam sebuah kelompok kerja yang ditugaskan mengkaji pengaruh senjata nuklir terhadap kebijakan luar negeri. 

Produk akhir pokja ini adalah sebuah buku setebal 450 halaman bertajuk Nuclear Power and Foreign Policy yang terbit pada 1957. Buku ini menggebrak pasar dan menjadi best-seller dengan caranya sendiri: memantik diskusi tentang senjata nuklir, sekaligus merekomendasikan cara terbaik untuk mencegah perang ialah menggentarkan lawan dengan ancaman "perang nuklir terbatas". 

Dari Harvard ke Washington 

Selagi kariernya moncer sebagai akademikus, reputasi Henry berdengung hingga keluar menara gading. Ia diundang Nelson Rockefeller, anggota Partai Republik sekaligus penasihat Presiden Dwight D. Eisenhower untuk masalah-masalah luar negeri. Pendapat-pendapatnya, yang disampaikan tertulis maupun di acara berita televisi, disimak dan dinantikan. 

Citranya mulai terbangun sebagai cendekiawan muda terbaik yang mampu dihasilkan generasi pasca-perang. Rockefeller yang di kemudian hari menjadi Wakil Presiden Gerald Ford, menjadi patron politik Henry. 

"Di Harvard, Henry mulai mengatur rapat dan diskusi para cendekiawan yang menganalisis krisis saat itu, Perang Vietnam. Diskusi panjang itu menjelajahi hubungan antara tindak-tanduk militer di lapangan, sekaligus peluang kesuksesan melalui diplomasi. Hasil-hasil diskusi selalu memperlihatkan, kemenangan hanya akan tercapai lewat diskusi," catat David E. Sanger dalam obituari Kissinger di The New York Times, 30 November 2023. 

Puncaknya, nama Henry keluar dari mulut Henry Cabot Lodge, senator dari Massachusetts yang berpengalaman sebagai duta besar di Vietnam. Ia merekomendasikan Henry saat Nixon menyusun kabinetnya setelah memenangkan Pemilu 1968. 

Oleh Nixon, Henry dipilih sebagai National Security Adviser. Jabatan ini adalah mesin utama Gedung Putih dalam menentukan postur keamanan nasional dan pilihan sikap dalam kebijakan luar negeri. 

Sebagai penasihat keamanan negara adidaya, Henry praktis memegang kontrol hampir penuh atas politik internasional—peluang yang ia manfaatkan optimal, dan dunia pun menyaksikan polah Amerika Serikat yang tidak membiarkan setetes pun kedigdayaan hard power AS tersia-sia. Tak mengherankan, sampai hari ini, Henry dijuluki sebagai salah satu eksekutif politik paling berkuasa di muka bumi. 

Sebagai menteri luar negeri, Henry adalah kombinasi paripurna seseorang yang menguasai teori realpolitik, sekaligus menggenggam kekuasaan untuk bereksperimen dengan pengetahuan teoretis yang ia miliki demi kepentingan nasional Amerika Serikat. 

Sepak terjangnya merentang dari Delta Mekong sampai ke tepi Laut Mediterania; dari Beijing, Moskwa, sampai negara-negara Amerika Latin. Menjadikan dasawarsa 1970-an sebagai titik balik politik internasional, sekaligus dekade paling menarik dan berdarah dalam sejarah Perang Dingin.

Sebagai tangan kanan Nixon dalam urusan polugri, Henry memantapkan wajah kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap negara-negara Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Selama pemerintah negara-negara itu dapat menyediakan stabilitas dan sanggup menjamin kepentingan nasional AS tetap aman, Washington akan tutup mata terhadap tindak represif dan wajah bengis kediktatoran yang mereka lakukan. 

"Begitulah realisme Kissingerian: cara pandang agar Amerika Serikat mengabaikan rezim-rezim yang berperilaku brutal membasmi lawan-lawannya selama stabilitas terjamin. ‘Realisme’ semacam ini mendorong Kissinger mendukung berkuasanya Augusto Pinochet di Chile, maupun Shah di Iran," tulis Anthony Lewis dalam kolom “The Fruits of ‘Realism’” yang terbit di The New York Times, 7 September 1999. 

Suara yang Tak Padam 

Karier politik Henry tutup buku setelah James Earl Carter melenggang masuk ke Gedung Putih pada 1977. Namun, ini tidak menjadikannya surut. Ia membuka firma konsultan yang menyediakan nasihat masalah-masalah luar negeri untuk perusahaan multinasional, terutama dalam pertimbangan bisnis. 

Dengan modal nama, ia membawa firmanya terkoneksi ke berbagai perusahaan nomor wahid di pelbagai sektor yang rela membayar mahal untuk memperoleh rekomendasi seorang Henry Alfred Kissinger. Sesekali memberi kuliah umum dan guru besar tamu sejumlah kampus Ivy League, Henry memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyatakan pandangan-pandangannya tentang soal-soal luar negeri. 

Kiprahnya sebagai intelektual-selebritas menjadikan personanya mendongkrak rating berbagai acara televisi yang ia hadiri sebagai bintang tamu. 

Henry mafhum akan kekuatan kata-kata. Dia terus menulis dan menjaga ingatannya tetap tajam meskipun fisiknya melemah. Pengalaman dan kiat-kiatnya selalu ia bagikan untuk para politikus dan pengambil kebijakan petahana yang menganggap ritual sowan kepadanya sebagai kewajiban sebelum pertimbangan strategis diambil. 

Pendapat Henry didengar oleh 12 presiden, sejak Eisenhower dalam merumuskan kebijakan nuklir, sampai Trump dalam merumuskan pendirian terhadap Tiongkok. Khusus yang terakhir, Trump tahu betul bagaimana Beijing memandang hormat Henry lantaran jasanya membuka jalan Tiongkok keluar dari keterkungkungan di balik tirai bambu Mao Zedong. 

Kematian yang menjemputnya pada 29 November 2023 merupakan kawan terakhir Henry. Semua rekan segenerasinya telah berpulang sejak dekade 1990-an, termasuk mantan bosnya, Nixon, yang meninggal pada 1994. Dengan mengalami kesempatan untuk hidup sebagai centenarian, kematian Henry patut dirayakan. 

Para pendukung dan pencintanya akan merayakan keabadian warisan pemikiran Kissinger yang terpaku kekal dalam setiap denyut nadi kebijakan luar negeri AS. Sedangkan para pengkritik dan pembencinya merayakan kematian Kissinger sebagai kisah klasik matinya seorang gentho dalam cerita silat, sekaligus dentang pertama dari lonceng kematian supremasi Amerika Serikat di panggung politik internasional. 

Related

International 6291351722412256958

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item