Memahami Empati: Sikap Baik Pada Orang Lain dan Diri Sendiri (Bagian 1)


Kabar duka, atau bisa juga berita bahagia, sering menjadi duka atau kebahagiaan bagi kita yang tidak mengalaminya. Tanpa disadari, apa yang kita dengar atau lihat melahirkan emosi-emosi tertentu sebagai respons atas berbagai kejadian tersebut. Namun, respons yang melibatkan emosi ini memiliki banyak wajah, dan tidak selalu berdampak positif, bila dilakukan secara tidak tepat. 

Empati berkaitan dengan relasi dengan orang lain, sangat dibutuhkan manusia sebagai makhluk sosial agar dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain. Namun Arthur C. Brooks, pada artikelnya yang berjudul What’s Missing From Empathy, menyatakan bahwa empati mengalami pemaknaan (positif) yang berlebihan pada masyarakat kini. 

Menurutnya, saking berlebihan, empati kini bisa dikategorikan sebagai kelebihan dalam resume. Konotasi empati yang positif, mengkategorikan pelamar kerja yang memiliki empati, adalah seorang yang layak dipekerjakan. 

Trudy Meehan dan Jolanta Burke, yang merupakan pengajar psikologi positif dan kesehatan di RCSI University of Medicine and Health Science, mengatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyelaraskan perasaan emosional dan kognitif dengan orang lain. Dengan berempati, seseorang dapat terhubung dengan orang lain jauh lebih dalam, dan melihat dunia dari perspektif atau berbagi pengalaman emosional dengan orang lain. 

Empati memiliki dua dimensi: sosio-kognitif dan sosio-afektif. Empati kognitif – mengacu pada melihat dunia melalui mata orang lain, melihatnya dari sudut pandang mereka, menempatkan diri kita pada posisi mereka tanpa harus mengalami emosi yang terkait. 

Misalnya, menonton berita dan memahami pada tingkat kognitif mengapa orang merasa putus asa, tertekan atau marah. Sedangkan empati emosional adalah tentang berbagi perasaan dengan orang lain, dan mengalami rasa sakit ketika melihat seseorang yang kesakitan, atau mengalami kesusahan ketika melihat seseorang dalam kesusahan. 

Studi fMRI menunjukkan, empati didorong oleh neuron cermin dan jaringan bersama. Profesor Michael Binassy, dari Universitas of London, mengatakan, empati tidak hanya terjadi pada salah satu bagian otak, tapi juga pada bagian-bagian otak yang lain. Kita mengalami respons pada otak yang sama antar satu manusia dan manusia lainnya, dalam satu kondisi tertentu. 

Saat kita melihat orang lain sedih misalnya, ada pergerakan pada otak yang disebut vicarious brain activity, sehingga kita dapat merasakan kesedihan yang sama dengan orang yang mengalami. 

Kenali Batasan Empati 

Empati terbukti dapat mengurangi beban orang lain. Artikel Brooks mencatat serangkaian eksperimen yang didokumentasikan pada tahun 2017, dan menemukan bahwa rasa sakit fisik yang signifikan berkurang saat orang lain mengungkapkan empati. Misalnya, saat seorang pasien mendapat berita buruk soal kondisi kesehatannya. Mereka akan menghadapi dengan lebih baik jika dokter mereka berempati. 

Tetapi hal yang mungkin luput dari perhatian selama ini adalah empati yang berlebih bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental seseorang. Meehan dan Burke masih menyoroti bahwa terlalu banyak empati terhadap orang lain, terutama memprioritaskan emosi orang lain di atas diri sendiri, dapat mengakibatkan pengalaman kecemasan dan depresi. 

Efek empati pada tubuh telah dibuktikan dalam penelitian. Orang tua yang mengalami tingkat empati yang tinggi terhadap anak-anak mereka cenderung mengalami peradangan kronis tingkat rendah, yang menyebabkan kekebalan yang lebih rendah. Jantung kita juga berdetak dengan ritme yang sama ketika kita berempati dengan orang lain. 

Empati, menurut Tania Singer, profesor dalam bidang Neuroscience, pada dasarnya adalah respons sehat yang dimiliki manusia, dan dapat berpengaruh positif. Namun, bila orang yang memberikan empati melewati batas yang kemudian disebut sebagai personal distress - ia lupa bahwa empati yang ia rasakan adalah reaksi atas kejadian yang terjadi pada orang lain, dan bukan kejadian yang sebenarnya terjadi pada dirinya sendiri - di situlah batas empati yang berlebihan terjadi. 

Pada dampak yang lebih luas lagi, empati bisa menjadi justifikasi akan kebenaran individu atau group tertentu. Empati, menurut Fritz Breithaupt, Profesor Ilmu Kognitif, terjadi pada berbagai level, bisa dalam grup yang sama, di luar grup, atau bahkan di tengah-tengah. Di sinilah, menurutnya, empati berlebihan akan mendorong justifikasi. Akibat dari justifikasi dan empati ini sudah banyak kita lihat dampaknya pada alasan yang digunakan diadakannya perang, penjajahan, genosida, rasisme, dan sebagainya. 

Baca lanjutannya: Memahami Empati: Sikap Baik Pada Orang Lain dan Diri Sendiri (Bagian 2)

Related

Psychology 5115419495433600782

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item