Mengenang Kisah Kudatuli, Kasus Kerusuhan di Masa Orde Baru (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenang Kisah Kudatuli, Kasus Kerusuhan di Masa Orde Baru - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Gejolak friksi internal dalam tubuh PDI mulai reda. Namun, kepemimpinan Megawati hasil Munas Jakarta tetap rentan. Menurut Soerjadi, kongres partai mesti tetap digelar untuk memilih pengurus selepas Munas. Sebaliknya, menurut Megawati, kepengurusan dia sah sampai periode 1999. 

"Dalam anggaran dasar PDI, setelah Munas (Jakarta), jika keadaan memungkinkan, harus dilaksanakan Kongres untuk memilih pengurus," ujar Soerjadi, seperti dilansir Forum Keadilan (9 Juli 2000). 

“Siap Mati Untuk Megawati” 

Ilmuwan politik Edward Aspinall, dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), mencatat pada 1996, pemimpin PDI mulai gusar. Mereka menerima laporan bahwa jajaran Departemen Dalam Negeri dan perwira ABRI menekan jajaran PDI di tingkat daerah untuk menandatangani persetujuan digelar KLB PDI pada 1996. 

Pada 3 Juni 1996, 215 dari 305 cabang PDI mendatangi Departemen Dalam Negeri. Mereka meminta izin untuk mengadakan kongres tersebut. Sehari berikutnya, Fatimah Achmad, ketua fraksi PDI di DPR, yang dikenal dekat dengan Soerjadi, membentuk panitia penyelenggara KLB. Ia didukung oleh 15 dari 27 anggota DPP PDI. 

Rencananya KLB akan digelar pada akhir Juni 1996 di Medan, Sumatera Utara. Mendagri Yogie S. Memet dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung mendukung KLB tersebut. Dalih mereka, KLB Medan akan mengatasi krisis internal partai. 

Sementara pendapat pengurus PDI di tingkat nasional dan daerah terbelah. Menurut Aspinall, sebagian besar panitia KLB Medan adalah pengikut Soerjadi atau orang-orang yang dipaksa ikut Megawati oleh Hendropriyono dan perwira ABRI lain pada 1993 sebagai jaminan dukungan pemerintah. Sementara itu, di daerah, pengurus PDI tingkat kabupaten/kota loyal kepada Megawati. Banyak anggota PDI menyatakan "siap mati untuk Megawati". 

Friksi yang sempat reda setelah Munas Jakarta kembali terjadi, bahkan melibatkan kelompok-kelompok di luar PDI. Sejak awal Juni 1996, simpatisan Megawati dan organisasi-organisasi yang mengambil sikap oposisi radikal terhadap pemerintahan Soeharto turun ke jalan memprotes rencana KLB Medan dan intervensi pemerintah, serta mengecam pengkhianat PDI. Banyak protes itu menyuarakan reformasi luas pemerintahan. 

Salah satu organisasi yang turut aktif dalam protes ini adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organisasi sayap mahasiswanya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Selain itu, kelompok Aldera besutan Pius Lustrilanang berunjuk rasa di Bandung. Sementara aktivis dari Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi (Pijar), organisasi yang dibentuk sebagian penggiat pers kampus dari Jakarta dan Yogyakarta, berunjuk rasa di ibu kota menyerukan "Megawati! Reformasi!". 

Sedangkan Gerakan Raktar Bali (GRB), hasil koalisi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan anggota PDI, melancarkan demonstrasi di Bali. Puncaknya, pada 26 Juni 1996, sebanyak 30 lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengumumkan berkoalisi membentuk organisasi payung bernama Majelis Rakyat Indonesia (MARI). 

Menurut Stefan Eklöf, ilmuwan politik dari Linnaeus University, dalam Power and Political Culture in Soeharto’s Indonesia (2003), MARI merepresentasikan beragam spektrum LSM, sebagian besar 'kiri', dan mengkritik keras pemerintah. Meski didera pelbagai kritik, KLB Medan tetap diadakan pada 20-23 Juni 1996. Megawati absen dalam kongres yang dijaga ketat tentara itu. Sementara Soerjadi dipilih sebagai ketua umum PDI tanpa hambatan. 

Penjagaan ketat tentara itu dipandang aneh oleh Stefan Eklöf. Dalam Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998 (1999), Eklöf menyatakan dua kongres PDI sebelumnya selalu berakhir ricuh dan tak pernah dijaga tentara secara ketat. Aneh jika PDI melaksanakan kongres setahun sebelum Pemilu 1997, menurut Eklöf. Ia menilai kinerja Megawati dan PDI cukup bagus untuk meraup suara. Megawati juga didukung secara luas oleh pengurus PDI di daerah. 

"Karena itu, bagi pengamat politik, jelas bahwa inisiatif untuk mengadakan kongres dan mengganti Megawati datang dari luar partai, yaitu dari pemerintah," tulis Eklöf (hlm. 24). 

Usai KLB Medan, Megawati tak tinggal diam. Sejak pertengahan Juli 1996, Pangdam Jaya Mayor Jenderal Sutiyoso membolehkan PDI kubu Megawati menempati kantor DPP PDI sepanjang tidak memobilisasi massa untuk turun ke jalan. Sebagai ganti bentuk protes, kubu pendukung Megawati menyelenggarakan Mimbar Demokrasi setiap hari di halaman kantor DPP PDI. 

Mimbar Demokrasi itu diisi orasi-orasi protes dan dihadiri banyak orang. Beberapa orator, seperti dari PRD dan kelompok aktivis lain, tak cuma mengutuk intervensi pemerintah terhadap PDI, tapi juga mengkritik Soeharto, dwifungsi ABRI, dan pilar sistem politik Orde Baru lainnya. 

"Penggulingan Megawati telah mampu menghimpun koalisi besar kekuatan pro-demokrasi yang tampaknya berniat menantang rezim Orde Baru dan mengambil alih kekuasaan. Pemerintah tampaknya telah menyadari bahaya ini dan mulai mengisyaratkan bahwa sebuah tindakan akan diambil terhadap para aktivis tersebut," ujar Eklöf (hlm. 265). 

Benar saja. Panglima ABRI Feisal Tanjung menilai protes di kantor PDI sebagai tindakan "subversif" pada 22 Juli 1996. Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid mendorong Soerjadi untuk mengambil alih dan memperingatkan gerakan tersebut sebagai "lagu lama PKI". Dua hari kemudian, Kapolda Metro Jaya melarang Mimbar Demokrasi. Pada hari yang sama, Soeharto, yang semula tampak enggan mendorong Soerjadi pada Kongres Medan 1993, akhirnya bertemu Soerjadi. 

Soerjadi mengatakan Soeharto menyebut ada "setan gundul" yang memperalat PDI untuk kepentingannya sendiri. Istilah "setan gundul" atau "setan gondrong", yang diciptakan rezim Orde Baru sebagai kata ganti PKI, merujuk pada aliansi pelbagai kelompok gerakan pro-demokrasi di bawah payung Majelis Rakyat Indonesia (MARI). Tiga hari setelah pertemuan Soeharto-Soerjadi, Kerusuhan 27 Juli itu terjadi. 

Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa, anggota Komnas HAM, datang sehari setelah peristiwa yang dikenang dengan nama Sabtu Kelabu itu. Keduanya memimpin tim investigasi pelanggaran HAM dalam Kudatuli. Hasilnya, Komnas HAM mencatat 5 orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang. Satu di antara orang yang diduga kuat dihilangkan usai peristiwa itu adalah Wiji Thukul, penyair Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan Partai Rakyat Demokratik. 

Komnas HAM menilai ada enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut: pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat; pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut; pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi; pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia; dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda. 

Kudatuli menjadi satu dari segudang kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu yang terus membayangi negara Indonesia, siapa pun pemimpin pemerintahannya, yang menjadi utang dari perubahan politik pada 1998, sebuah titik tolak dari awal demokrasi dari akhir rezim otoriter. 

Related

Indonesia 7588057103583644020

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item