Masalah Buaya dan Penambangan Timah di Bangka Belitung (Bagian 1)


Pegiat satwa, aktivis lingkungan, hingga pemerintah satu suara: konflik manusia dan buaya yang semakin masif terjadi di Babel dipicu oleh maraknya aktivitas pertambangan timah ilegal.

Buktinya, tiap kali Alobi melakukan evakuasi terhadap buaya yang terperangkap konflik dengan manusia, di dekatnya "pasti ada tambang timah ilegal", sebut Endi.

Merujuk peta tutupan lahan di Babel yang diolah oleh Finlan Aldan dari organisasi pembela satwa liar Garda Animalia, habitat buaya di Bangka "hampir semuanya telah habis menjadi wilayah tambang".

Dari total luas daratan Babel yang mencapai sekitar 1,6 juta hektare, lebih dari satu juta telah dikuasai industri pertambangan skala besar hingga kecil, mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Babel.

Potensi timah di Pulau Bangka

Jumlah itu belum termasuk sebagian wilayah laut yang kini disebut telah luluh lantak dihajar tambang, kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Babel, Jessix Amundian.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Babel mencatat ada 167.104 hektare lahan kritis hingga sangat kritis (10,2%) pada tahun 2022. Wilayah kerusakan terluas di antaranya terletak di Bangka Barat yang mencapai 19.562 hektare.

Kepungan aktivitas pertambangan ini tidak lepas dari melimpahnya sumber daya timah di Babel, yang menyimpan 91% cadangan Indonesia dan menjadi lumbung timah dunia.

Merujuk data United States Geological Survey (USGS), cadangan timah Indonesia diperkirakan mencapai 800.000 ton logam pada 2021, sekitar 17% dari total cadangan timah di seluruh dunia sebesar 4,7 juta ton logam.

Jumlah itu membuat Indonesia menempati urutan kedua pemilik cadangan timah terbesar di dunia, setelah China. Adapun, sebuah lembaga menyebut Indonesia memiliki cadangan timah mencapai 2,23 juta ton.

Penambang ilegal 'kami butuh makan'

Seorang penambang timah bernama Amat, 52 tahun, bercerita bahwa dia hampir digigit buaya sepanjang tiga meter. "Jumat sore, aku mau amankan ponton di tengah air, takut dimaling mesinnya. Jadi aku ambil kayu dan cucuk di tengah [kolong]," kata Amat mengawali kisahnya.

"Saat ikat tali, ternyata buaya langsung gigit. Untung kayu yang diterkam. Aku langsung panik takut," katanya sambil menunjuk lokasi kejadian itu.

Walau hampir digigit buaya, Amat yang lulusan sekolah dasar (SD) tetap kembali menambang di wilayah itu. Dia mengungkap alasannya. "Lapangan kerja tidak ada, cuma inilah. Kolong lain tidak ada timahnya, sudah habis. Kami butuh makan," ungkapnya.

Jika nasibnya sedang mujur, Amat bisa mendapat dua hingga tiga kilogram (kg) timah per hari, dengan harga sekitar Rp200.000 per kg.

In, penambang timah, mengaku tetap menggeluti pekerjaan ini kendati dia tahu nyawa menjadi taruhannya. "Kemarin lihat buaya, kurang lebih jam empat sore. Takut tidak takut lah, namanya juga cari makan. Kami lebih takut istri tidak makan," kata pria berusia 42 tahun itu.

Selain keterbatasan lapangan pekerjaan, alasan lain adalah mereka dapat memperoleh "uang cepat" dari timah, ungkap Reza yang telah menambang lebih dari 20 tahun.

"Kalau ke kebun tidak mungkin pulang langsung bawa duit. Kalau ini [timah] duit cepat, perputaran juga cepat. Walau hasilnya tidak banyak tapi bisa menutupi [kebutuhan] hari ini."

Dari timah, Reza mengaku mampu membiayai kebutuhan hidup keluarganya, "Anak saya bisa sekolah, satu [di bangku] SMP, satu SMA dan satu PAUD. Semua hidup dari timah, mau dari mana lagi," katanya.

Ketiga penambang itu sadar bahwa profesi yang mereka geluti melanggar hukum. Namun, mereka mengaku tak bisa berhenti lantaran terbatasnya alternatif pekerjaan yang bisa menandingi hasil dari timah, lamun secara ilegal.

Para penambang timah inkonvensional itu pun berharap agar pemerintah membuat program yang memberdayakan mereka untuk bisa terus menambang.

Tambang timah di laut: Kalau ditutup, mengamuk warga

Selain di darat, aktivitas tambang timah — baik legal maupun ilegal — juga merebak ke wilayah laut.

Ratusan kapal tambang ilegal dengan ragam ukuran terpampang tanpa malu di perairan yang menjadi bagian dari Teluk Kelabat Dalam, terletak di ujung utara Pulau Bangka. Sejumlah ponton berukuran kecil hingga sedang tampak bersandar di bibir pantai, sementara kapal berskala besar sibuk beraksi di tengah laut.

Tiap harinya, beberapa pekerja mengaku dapat menerima upah hingga Rp300.000, tergantung pada jumlah timah yang mereka dapat.

Kepala Dusun Bakit Pecinan, Amrullah mengatakan, aktivitas penambangan yang itu menggambarkan betapa besar ketergantungan masyarakat akan timah di wilayahnya. "Sulit memisahkan masyarakat dengan timah. Dengan bebasnya orang mengambil timah, terasa sekali [kemajuan] di sini," klaim Amrullah.

Pria berusia 58 tahun itu mencontohkan, keponakannya bisa lulus dari akademi keperawatan berkat uang hasil menambang timah. Demikian halnya dengan banyak warga lain, tambah Amrullah. Mereka mampu membeli kendaraan, seperti motor dan mobil, serta melakukan renovasi rumah hingga membuka usaha.

Baca lanjutannya: Masalah Buaya dan Penambangan Timah di Bangka Belitung (Bagian 2)

Related

News 4264862590872139688

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item