Mengkaji Kasus Korban Kejahatan yang Menewaskan Penjahat (Bagian 3)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengkaji Kasus Korban Kejahatan yang Menewaskan Penjahat - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Lalu, dalam konsep pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer-exces) di KUHP terbaru termuat dalam Pasal 34 (dalam KUHP lama hal ini termuat dalam Pasal 49):

"Setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.“

Dan Pasal 43 KUHP teranyar berbunyi: "Setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.“

Menurut Ifti, kemunculan polemik kasus seperti di Banten lantaran adanya persoalan dalam penetapan perkaranya oleh aparat penegak hukum. Dia menambahkan, tidak seluruh aparat penegak hukum memiliki latar belakang pendidikan hukum yang mumpuni di tingkat penentapan kasus.

"Kalau bicara kepolisian, itu tidak semuanya sarjana hukum. Bahkan, mereka tidak diwajibkan jadi sarjana hukum kayak jaksa,“ katanya. Selain itu, kata Ifti, "Kita masih belum punya framework [kerangka kerja] yang jelas juga, misalnya menentukan daya paksa, ada indikasinya, maka dia bisa langsung dihentikan [kasusnya]“.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaprapta mengatakan ada sejumlah syarat tindakan pidana yang tidak bisa dipenjara, apa yang disebut "belapaksa“. Syarat itu antara lain: Ada serangan/ancaman serangan yang melawan hukum; seketika itu; ditujukan kepada (keselamatan tubuh) diri sendiri atau orang lain, atau keselamatan harta benda sendiri atau orang lain, atau kehormatan kesusilaan diri sendiri atau orang lain.

"Selain itu ada syarat tambahan yaitu proporsionalitas perbuatan dibanding serangan, dan subsidiaritas perbuatan karena tidak ada pilihan selain beladiri,“ kata Bona – sapaan Ganjar Laksmana Bonaprapta – dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, polemik tentang kasus belapaksa yang berakhir pada pembunuhan terhadap pelaku pencurian terjadi karena "penegak hukum tidak paham konsep hukum belapaksa.“

"Masyarakat juga enggak paham. Tapi kalau masyarakat kita maklumi. Kalau penegak hukum?" tambahnya.

Bagaimana dalam konteks kasus di Serang?

Kapolres Serang Kota, Kombes Pol Sofwan Hermanto mengatakan, kepolisian tidak menggunakan Pasal 49 KUHP terkait pembelaan terpaksa dalam kasus ini karena: "Dari fakta penyidikan, saudara M dengan saudara W, ini ada jarak lima meter. Dan, saat itu sodara W dalam posisi pasif. Ini dari fakta penyidikan.”

Sofwan menyebut kasus ini berbeda dari kasus-kasus serupa, termasuk yang juga disinggung oleh Mahfud MD. "Berbeda dari peristiwa di beberapa tempat tentang pembelaan diri, karena sudah terbukti akan melakukan penyerangan,” katanya.

Kepolisian, kata dia, juga mempertimbangkan jalur keadilan restoratif bagi M. Akan tetapi setelah mendalaminya, kasus M tidak masuk dalam kategori keadilan restoratif karena "menghilangkan nyawa orang lain”.

"Atas dasar itu, sehingga kami meningkatkan prosesnya menjadi penyidikan supaya perkara ini terang benderang,” tambah Sofwan.

Kapolres Serang Kota juga menegaskan pihaknya telah menjalankan kasus ini sesuai prosedur, KUHAP dan Peraturan Kepolisian. "Kami sudah berjanji dengan saudara M akan mendampingi, mengawal kasus ini, supaya M mendapatkan hukuman yang seringan-ringannya,” katanya.

Kasus-kasus korban kriminalitas dijadikan tersangka

Seperti disinggung Mahfud MD, penetapan tersangka terhadap korban pencurian yang membela diri pernah terjadi di Bekasi pada 2018. Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2019 di Kabupten Malang, Jawa Timur yang melibatkan seorang pelajar berinisial ZA, 17 tahun.

Beda nasib dengan kasus di Bekasi, di mana korban yang membunuh, karena terancam, memperoleh piagam penghargaan dari polisi, ZA justru menjadi anak yang berhadapan dengan hukum. Pengadilan menyatakan ZA bersalah melakukan penganiayaan yang berujung kematian. Ia dihukum satu tahun pembinaan.

Kasus ini berawal saat ZA bersama teman dekatnya, V didatangi Misnan dan gerombolannya. Misnan hendak membegal ZA dan mengancam memperkosa V. ZA lantas mengambil pisau, dan menusuk Misnan hingga tewas.

Selain itu, kasus serupa pernah terjadi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang melibatkan korban begal berinsial AS pada 2022. AS ditetapkan tersangka karena membunuh orang yang akan membegalnya.

Kasus ini sempat ramai diberitakan yang ujungnya membuat Polda NTB menghentikan kasus AS. Peneliti hukum menilai kasus-kasus ini membuktikan "kepolisian perlu dibenahi".

Related

News 7976101674882355460

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item