Kho Ping Hoo, ‘Anak Ajaib’ dalam Cerita Silat Indonesia


Penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali!

Bila Sin Tong (Bukek Siansu, 1973) merupakan anak ajaib dalam dunia silat dan pengobatan, Kho Ping Hoo adalah 'anak ajaib' dalam dunia cerita silat alias cersil. Kemunculannya adalah fenomena yang pernah dirasakan mereka yang kini menjadi generasi senior, juga sebagian generasi kekinian.

Lahir pada 1926, Kho Ping Hoo lahir sebagai peranakan Tionghoa dan mengalami banyak pembelajaran hidup sejak belia. Menjadi kepala keluarga di usia remaja dan menggantikan ayahnya mencari nafkah, Kho Ping Hoo banyak mencecap asam-garam hidup.

Meski tak mampu melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, kecerdasan Kho Ping Hoo tak berhenti membuahkan karya. Sembari bekerja sebagai juru tulis pada awal dekade '50-an di Tasikmalaya, Kho Ping Hoo mulai menjajal dunia menulis.

Tak dinyana, itulah renjananya. Kho Ping Hoo pun banting setir dari juru tulis menjadi penulis dan memilih nama pena Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Dari pekerja biasa, ia menjadi pengusaha percetakan dan merilis buku-bukunya sendiri, dan berhasil mengangkat taraf ekonomi keluarga.

"Ide-idenya itu harus diketik. Kalau enggak, rasanya kepala tuh penuh," kata anak keempat Kho Ping Hoo, Tina Asmaraman menirukan ucapan ayahnya dan menyebut sang ayah "enggak pakai mikir" kala menulis cerita.

Hidup memang tampaknya mengajarkan banyak hal pada Kho Ping Hoo. Di tengah kesuksesan, ia berkali-kali menjadi korban rasialisme. Jatuh-bangun menata kembali kehidupan memperkaya pengalamannya, yang ditambah dengan kekayaan sumber literasi, ia tuangkan dalam cerita.

Leo Suryadinata, Visiting Senior Fellow ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapore yang meneliti soal cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo semasa hidup, punya alasan mengapa penulis itu ia sebut hebat.

"Kho Ping Hoo tak pernah sekolah Tionghoa, tidak paham aksara Tionghoa, dan tidak pernah belajar sejarah Tiongkok di sekolah, mampu menghasilkan kira-kira 108 buat judul cersil yang berlatar belakang Tiongkok," kata Leo.

Kho Ping Hoo juga telah menghasilkan sekitar 30 buah judul cersil dengan latar belakang 'sejarah' Jawa dan Indonesia, dan memiliki penggemar yang banyak.

"Karya cersil Kho Ping Hoo bukan saja ceritanya menarik, dan bersifat mendidik, tetapi juga disampaikan dalam bahasa Indonesia yang cukup baik sehingga bisa membuat pembaca Indonesia, baik yang peranakan maupun yang pribumi 'kecanduan'," kata Leo.

Kesuksesan itu terlihat dalam surat Kho Ping Hoo kepada Leo pada 1985.

"Menurut perkiraan Kho Ping Hoo, di seluruh pelosok Indonesia ada banyak tempat menyewakan buku-buku silat, terutama karya Kho Ping Hoo. Bila setiap jilid dibaca oleh 25 orang, maka setiap edisinya kira-kira ada 1,6 juta pembaca," tulis Leo dalam esainya, Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Ulasan Ringkas (Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, 1994).

Salah satu pembaca setia Kho Ping Hoo adalah Kanya. "Waktu itu heboh banget," kata Kanya yang masih teringat jelas kenangan menggembirakan akan Kho Ping Hoo dalam benaknya.

"Kebetulan teman dan adik, semua senang mengoleksi buku. Nah pas ada Kho Ping Hoo, enggak ketinggalan juga tuh dikoleksi, karena ceritanya seru banget dan enggak bisa berhenti baca," lanjutnya.

Related

Indonesia 7628036484209934635

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item