Kisah Perjalanan Hidup Kho Ping Hoo dan Karya-karyanya (Bagian 1)


Tina Asmaraman tersenyum kala mengenang momen kejayaan ayahnya, Kho Ping Hoo, usai memutuskan menceburkan diri sebagai seorang penulis cersil dan keluar dari perusahaan pengangkutan yang merekrutnya sebagai juru tulis.

Kho Ping Hoo telah menemukan tambatan kesenangannya. Menulis cerita bukan hanya menyalurkan isi pikirannya, yang kata Tina "selalu penuh", melainkan juga bisa menaikkan derajat ekonomi keluarganya setelah hidup susah sejak masa remaja.

Keputusan itu bermula dari sambutan hangat cerpen karya Kho Ping Hoo yang tayang di majalah-majalah. Tina menyebut, sambutan itu juga terjadi ketika Kho Ping Hoo membuat majalahnya sendiri. Di majalahnya itu, Kho Ping Hoo ingin menambah satu rubrik lain, cersil.

Kala itu, cersil dikenal merupakan karya terjemahan dari roman sejarah Tionghoa berbahasa Mandarin. Ia pun meminta sejumlah penerjemah untuk mengisi rubrik cersil itu. Namun mereka menolak.

"Ada pengarang silat saduran diminta untuk majalah, tapi mereka bilang sibuk atau apa itu, ya sudah buat sendiri. Ternyata banyak yang suka sambutannya, jadi diterusin," kata Tina.

Hingga pada 1959, cersil pertama Kho Ping Hoo pun rilis. Kisahnya bertajuk Peng Liong Pokiam alias Pedang Pusaka Naga Putih. Cersil itu dibuat bermodal pengalaman Kho Ping Hoo dalam membaca cersil terjemahan dan dibumbui dengan imajinasinya sendiri.

Bukan hanya spesial karena itu adalah cersil pertama, melainkan karena karya tersebut begitu personal bagi Kho Ping Hoo. Ia menggunakan nama anak putra dia satu-satunya kala itu sebagai tokoh dalam cerita tersebut, Hang Liong.

"Iya, itu nama adik saya. Karena anak-anaknya kan perempuan semua, dapat anak laki-laki senang banget, terus dijadiin tokoh silat. Adik saya itu nomor berapa ya? Saya hitung dulu ya, anaknya banyak banget..." kata Tina sembari mengingat-ingat urutan saudara-saudaranya sendiri.

Kho Ping Hoo diketahui memiliki 13 anak dari pernikahannya dengan Rosita, dengan 11 yang hidup. Tina merupakan anak keempat. "Dia [Hang Liong] anak kedelapan," ujar Tina setelah sempat mengingat.

Sambutan hangat tersebut membuat Kho Ping Hoo bersemangat dalam membuat karya. Tina mengaku, ayahnya sudah sedari pagi bisa langsung sibuk di depan mesin ketik dan memenuhi ruangan dengan suara ketikannya.

Apalagi, Kho Ping Hoo amat melarang anak-anaknya yang banyak untuk berisik karena mengganggu konsentrasinya. Ia bisa menulis dari pagi hingga siang, kemudian rehat sejenak dengan mandi, makan hingga bermain badminton, lalu lanjut lagi sampai matahari berganti bulan.

"Ide-idenya itu harus diketik. Kalau enggak, rasanya kepala tuh penuh," kata Tina menirukan ucapan Kho Ping Hoo dan menyebut sang ayah "enggak pakai mikir" kala menulis cerita.

Fokus Kho Ping Hoo menekuni profesi baru hingga keluar dari pekerjaan lamanya membuahkan hasil manis. Ekonomi keluarga meningkat, mereka bisa membangun rumah di Solo, membeli mobil, dan peralatan yang dibutuhkan untuk mengembangkan karier baru Kho Ping Hoo.

Anak-anaknya pun kecipratan cuan. Kho Ping Hoo yang gagal melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi kini mampu membayar uang sekolah anak-anaknya dengan jumlah yang lebih banyak dibanding orang tua murid lain.

Mereka pun kerap bepergian untuk liburan. Tina tersenyum kala teringat kenangan dirinya dengan Papa dan Mama serta saudara-saudara lainnya naik mobil berlibur ke Pangandaran.

Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. 

Pada Mei 1963, kerusuhan yang berlatar masalah rasialisme pecah di Bandung dan menjalar ke sejumlah kota lain di Jawa Barat, termasuk di Tasikmalaya.

Kerusuhan ini dilaporkan bermula dari perkelahian di Kampus ITB antara kelompok Tionghoa dengan non-Tionghoa dan meluas hingga ke luar kampus. Pada 10 Mei 1963, dilaporkan sekitar 500 toko dan rumah mengalami kerusakan. Belum termasuk puluhan mobil, motor, radio, televisi, lemari es yang dibakar atau dirusak.

Penyebab kerusuhan itu salah satunya dianggap karena situasi ekonomi yang mencekik dan ketimpangan ekonomi antara masyarakat Tionghoa dengan non-Tionghoa.

Kediaman Kho Ping Hoo tak luput menjadi sasaran. Ia yang merupakan seorang peranakan dan baru mulai mencicip kesuksesan karier sebagai pengusaha percetakan sekaligus penulis, harus merelakan barang-barangnya jadi sasaran amukan massa.

"Rumahnya dilemparin batu, sampai buku-buku dibakarin, kendaraan dibakarin," kata Tina mengenang momen tersebut.

Kondisi itu memaksa Kho Ping Hoo dan keluarganya minggat dari Tasikmalaya dan pindah ke Solo. Di sana, mereka kembali menata hidup. Namun itu pun hanya bertahan dua tahun.

Pada 1965, tindakan rasialisme menjalar ke berbagai daerah di Indonesia pasca kejadian G30S/PKI. Masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi sasaran kemarahan karena Pemerintah China (RRC) kala itu dianggap sebagai sponsor utama gerakan tersebut.

Kerusuhan itu jelas membuat Kho Ping Hoo patah hati. Rumahnya yang dibangun dengan jerih payah sendiri rusak diamuk massa. Buku-buku karyanya dibakar lagi. Anak-anaknya ketakutan. Percetakannya yang dibangun untuk meningkatkan taraf ekonomi pun nyaris jadi korban.

"Kebetulan pegawainya kan sudah banyak [di Solo], jadi melindungi. 'Percetakan enggak boleh dibakar' katanya, 'Kalau dibakar kerja di mana?'. Sudah melindungi. Tapi Papa saya masih sakit hati, kok dibuat takut terus? Kan takut. 'Kan sudah pindah ke Solo, masih aja ada kejadian itu'," kata Tina.

Baca lanjutannya: Kisah Perjalanan Hidup Kho Ping Hoo dan Karya-karyanya (Bagian 2)

Related

Figures 4136036291377176436

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item