Kisah Perjalanan Hidup Kho Ping Hoo dan Karya-karyanya (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Perjalanan Hidup Kho Ping Hoo dan Karya-karyanya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Tina pun masih ingat betapa gaduhnya waktu rumahnya didatangi serombongan pemuda penuh amarah. Mereka datang dengan bergemuruh, penuh teriakan kebencian, dan tak lama bunyi barang-barang dirusak melengkapi teror yang dirasakan keluarga Kho Ping Hoo.

Ia beserta anggota keluarga lainnya kala itu hanya bisa berlindung di rumah tetangga dan jadi saksi kediaman mereka diobrak-abrik hanya karena nasib sebagai peranakan.

"Papa saya sedih. Ada anak tetangga yang biasanya baik kok kenapa? Katanya saya dengar dari tetangga lain, itu ikut ngelempar-ngelemparin," kata Tina.

"Mungkin ikut euforia anak muda, jadi enggak ada benci ke Papa tapi senang aja terbawa-bawa 'lempar! Lempar!'. Tapi Papa saya sakit hatinya, 'Kenapa? kan dia kenal. Kok tega?'" lanjutnya.

Kho Ping Hoo dan keluarga hanya bisa pasrah dan tabah menjadi korban tak bersalah dari rasialisme. Sembari kembali menata hidup kesekian kalinya, Kho Ping Hoo juga kembali ke mesin tiknya, mengeluarkan ide-ide yang tak mengering meski dihadapkan banyak cobaan.

Kho Ping Hoo juga mengajak anak-anaknya dalam melahirkan karya. Ia sengaja merekrut mereka sebagai editor bila ada huruf salah ketik atau sebagai penilai cerita dibuat kala 'bersemedi' di vilanya di kawasan Tawangmangu, setiap hari kerja demi berkarya dengan tenang.

"Papa saya banyak mengarang. Ada berapa judul dan tercampur-campur, jadi kami mengingatkan juga. Dan kadang juga tokohnya kami enggak suka, misal tokoh ini dapat tokoh ini karena dia cewek yang sombong, jadi kami suka bilang 'jangan sama itu deh ceweknya enggak bener'," kata Tina bersemangat.

"Papa enggak protes, cuma 'oh gitu ya'," tambahnya.

Kali ini, Dewi Fortuna merangkul Kho Ping Hoo. Karya-karyanya masih digemari, bahkan lebih dari sebelumnya. Mesin cetaknya tak berhenti mencetak ulang novel-novel cersil yang ia buat.

Leo Suryadinata, peneliti cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo, menulis dalam Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Ulasan Ringkas (Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, 1994), setiap terbitan cersil Kho Ping Hoo bisa mencapai 10-15 ribu jilid dan dalam sebulan terjual habis.

"Menurut perkiraan Kho Ping Hoo, di seluruh pelosok Indonesia ada banyak tempat menyewakan buku-buku silat, terutama karya Kho Ping Hoo. Bila setiap jilid dibaca oleh 25 orang, maka setiap edisinya kira-kira ada 1,6 juta pembaca," tulis Leo dalam esainya, mengutip informasi dari Kho Ping Hoo kepadanya.

Kesuksesan itu kembali membawa kebahagiaan dalam keluarga besar mereka. Tina ingat betul, ayahnya kembali menjadi sosok yang royal. Ketika iklan sebuah produk muncul di TVRI suatu kali dan diminati oleh seorang anaknya, Kho Ping Hoo tak sungkan langsung membelikan barang itu.

Bahkan mereka berkesempatan liburan ke luar negeri pada awal dekade '70-an. Kho Ping Hoo memboyong keluarganya ke Singapura untuk berlibur. Meski begitu, Tina menyebut Kho Ping Hoo lebih suka berlibur di Solo karena jumlah keluarganya yang mirip rombongan.

"Papa kalau ke Singapura itu bilang ini 'tuh kita cari taksi antri begini! Enakan ke Solo kan'. Papa saya mah suka merusak suasana, kalau ke luar negeri suka mengomel 'enak di Solo kan?' padahal enakan ke Singapura ya?" seloroh Tina.

Bukan hanya royal terhadap keluarganya, Kho Ping Hoo juga dikenang Tina sebagai sosok yang tak lupa balas budi.

Tina ingat cerita sang ayah ketika Kho Ping Hoo masih muda ditolong seorang ibu di stasiun dengan memberikan uang sehingga ia bisa beli tiket untuk dirinya dan sang adik. Kala itu, Kho Ping Hoo kehabisan uang karena membeli makanan untuk adiknya yang lapar.

Ketika Kho Ping Hoo telah sukses, ia teringat dengan sosok ibu tersebut dan berusaha mencarinya di stasiun tempat dulu mereka bertemu. Tapi Kho Ping Hoo tak menemukannya dan masih teringat akan sosok ibu itu hingga punya keturunan.

"Papa saya selalu bilang: 'kita jangan lupa sama orang yang sudah menolong kita. Utang uang bisa dibayar, utang budi susah dibayarnya'," kata Tina.

Tina tak bisa menutupi kerinduannya akan sosok Kho Ping Hoo yang meninggal pada 22 Juli 1994 silam akibat komplikasi. Meski sosok Kho Ping Hoo adalah ayah yang memaksa seluruh putrinya untuk mengikuti perintah dan tata krama, ia juga sosok pria yang baik dan menjadi sumber pembelajaran bagi anak-anaknya.

"Bicara dari hati ke hati," kata Tina setelah terdiam lama untuk menjawab apa hal yang paling dirindukan dari kebersamaan bersama ayahnya.

"Kalau ada masalah, Papa kasih jalan keluarnya. Kalau ada masalah di rumah tangga [anak], yang ditegur [oleh Kho Ping Hoo] adalah anaknya, bukan menantunya. Itu yang paling saya ingat."

Related

Figures 7740699293599653477

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item