Pengamat Asing Khawatir Indonesia Akan Hadapi Pemilu Terakhir (Bagian 1)


Pemilihan umum presiden dan legislatif pada 14 Februari 2024 mendatang dibayangi meningkatnya dukungan partai dan legislatif terhadap gagasan perampingan skala pemilihan langsung. Artinya pesta demokrasi kali ini bisa jadi merupakan akhir dari pemilihan umum melibatkan seluruh rakyat seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. 

Prediksi ini muncul dari Ian Wilson, pengamat politik asing dari Universitas Murdoch, Australia, terhadap kemungkinan nasib demokrasi di Indonesia setelah Pilpres nanti. 

Ia menjelaskan, dalam debat calon presiden pertama pada 12 Desember 2023, Capres Anies Baswedan mengatakan bahwa masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi di Indonesia. Saingannya, Capres Prabowo Subianto, menjawab dengan bersemangat, “Jika demokrasi gagal, mustahil bagi Anda menjadi gubernur!”

Kecaman Prabowo terhadap Anies ini terkait dengan pencalonannya menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, yang didukung oleh Prabowo. Meskipun beberapa pihak menafsirkan pernyataannya sebagai pembelaan terhadap sistem pemilu di Indonesia, namun sejak lama, menurut Ian Wilson, Prabowo menolak apa yang ia sebut sebagai dampak korosif dari bentuk-bentuk kompetisi demokrasi yang “diimpor”, termasuk pemilu langsung. 

“Dengan latar belakang kemunduran demokrasi di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana demokrasi elektoral akan berjalan di bawah kepemimpinan Prabowo,” ujar Ian Wilson yang juga Dosen Senior Politik, dan Pusat Penelitian Indo-Pasifik, Murdoch University, dalam tulisannya di blog Institut, Fulcrum.sg. 

Ia memaparkan, berada di spektrum politik Indonesia yang beraliran kanan nasionalis, partai Gerindra yang dipimpin Prabowo menolak apa yang mereka klaim sebagai arah reformasi pasca-reformasi tahun 1998/1999 yang bersifat liberal-demokratis. Gerindra menganjurkan kembalinya sistem berdasarkan UUD 1945 yang asli. 

Hal ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999-2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun).

Masih menurut Ian, sikap Prabowo dan Gerindra lebih dari sekadar retoris. Pada akhir 2014, setelah kalah dalam pencalonan pertamanya sebagai presiden dari Jokowi, Prabowo memimpin koalisi parlemen multi-partai mengesahkan RUU Pemilu yang mengembalikan, meskipun untuk sementara, situasi sebelum tahun 2005 yang memungkinkan penunjukan kepala daerah, termasuk gubernur oleh parlemen. 

Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, intervensi presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu memulihkan pemilu langsung. SBY, pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya, mengeluarkan dua dekrit yang membatalkan upaya ‘kudeta’ legislatif tersebut.

Intrik Elit Memperpanjang Masa Jabatan

Intrik elit untuk memperpanjang batas masa jabatan presiden dan mengurangi pemilihan langsung telah menyatukan tujuan ideologis faksi-faksi yang berupaya mengikis, atau bahkan membalikkan, kemajuan demokrasi pasca-reformasi. “Hal ini diperburuk dengan ambisi Jokowi untuk mengkonsolidasikan dan melanggengkan warisannya,” tambahnya.

Pada 2023, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga menyerukan agar MPR diangkat kembali sebagai lembaga eksekutif tertinggi negara. Bahkan DPD menyatakan bahwa perubahan konstitusi pasca-1999 telah “menjauh dari Pancasila”. 

Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti, berpendapat bahwa pemilihan presiden secara langsung telah menghancurkan kohesi nasional dan harus digantikan dengan praktik 'pemilihan' presiden secara tidak langsung oleh anggota MPR seperti di era Orde Baru.

Mereka yang mendorong pembatalan pemilu dan konstitusi jelas-jelas menahan diri untuk tidak mengangkat isu tersebut sebagai isu kampanye pada 2024. Namun demikian, Wakil Ketua Gerindra, Habiburokhman, sempat mengatakan bahwa usulan MPR dan DPD untuk kembali ke UUD pra-reformasi akan ditinjau kembali setelah keputusan pemerintahan baru terbentuk. 

Dia berkomentar bahwa diskusi sebelum pemilu dapat “menimbulkan kecurigaan publik” akan niat untuk menunda pemilu 2024 atau mengakhiri pemilu berikutnya.

“Preferensi yang ditunjukkan oleh banyak partai politik terhadap kontrol yang lebih besar terhadap proses penunjukan pemimpin eksekutif mencerminkan kegelisahan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai keanehan dan meningkatnya biaya pemilihan langsung serta kebutuhan untuk menemukan kandidat yang ‘dapat dipilih’,” jelas Ian Wilson yang juga visiting fellow di ISEAS - Yusof Ishak Institute.

Baca lanjutannya: Pengamat Asing Khawatir Indonesia Akan Hadapi Pemilu Terakhir (Bagian 2)

Related

News 8211138515767812560

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item