Pengamat Asing Khawatir Indonesia Akan Hadapi Pemilu Terakhir (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Pengamat Asing Khawatir Indonesia Akan Hadapi Pemilu Terakhir - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Capres Prabowo telah memberikan jaminan atas komitmennya terhadap demokrasi, dengan syarat bahwa demokrasi “masih memiliki banyak kekurangan”. Istilah yang digunakan ini tidak terlalu otokratis dibandingkan kampanye presiden pada tahun 2014 dan 2019, dengan tujuan bersifat politis, sebagai respons terhadap perubahan lanskap di mana dukungan publik terhadap demokrasi masih tetap tinggi. 

“Hal ini terjadi bahkan ketika demokrasi telah dilubangi secara substansial di bawah kepemimpinan presiden yang populer saat ini. Otokrasi konstitusional, seperti yang terjadi pada Pilpres 2014, tidak diperlukan lagi bagi Prabowo pada Pilpres 2024 untuk mengonsolidasikan dan mempertahankan kekuasaan.”

Beda Cara Tujuan Sama

Lebih jauh lagi, mengungkapkan kecenderungan otokratis seperti itu adalah hal yang berisiko, karena dapat menimbulkan reaksi balik dan memberikan peluang bagi para pesaingnya untuk mengkritiknya atau mengambil sikap populis. 

“Hanya saja hal ini tidak berarti bahwa Prabowo telah meninggalkan tujuan ideologisnya yang lebih luas, namun ia kembali mengkalibrasi ulang strateginya, menggunakan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama,” jelasnya lagi.

Posisi partai-partai besar mengenai masa depan pemilu langsung tampaknya sangat berperan. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang diketuai Muhaimin Iskandar, telah mengadvokasi penunjukan gubernur di DPRD. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dengan kandidatnya Ganjar Pranowo yang merupakan gubernur Jawa Tengah terpilih selama dua periode, juga mengindikasikan dukungan terhadap gagasan tersebut. 

DPR baru-baru ini mengajukan rancangan undang-undang kerangka pemerintahan Jakarta setelah ibu kota baru Nusantara (IKN) menggantikannya sebagai ibu kota negara. RUU tersebut mengusulkan agar calon gubernur ditunjuk oleh presiden berdasarkan rekomendasi DPRD.

Preferensi yang ditunjukkan banyak partai politik terhadap kontrol yang lebih besar terhadap proses penunjukan pemimpin eksekutif mencerminkan kegelisahan mereka dengan alasan meningkatnya biaya pemilihan langsung serta keinginan untuk menentukan kandidat yang dipilih. 

Penyempitan ruang kontestasi politik, seperti kembalinya sistem pemungutan suara daftar tertutup atau penunjukan pemimpin daerah oleh parlemen, akan menutup kemungkinan munculnya pihak luar yang mengganggu untuk memperebutkan jabatan gubernur atau legislatif. 

“Hal ini akan sangat merugikan sektor-sektor masyarakat sipil yang tidak memiliki ikatan atau manfaat terhadap elit politik yang akan menghadapi hambatan lebih besar dalam partisipasi pemilu dan kerentanan terhadap penindasan,” paparnya.  

Oleh karena itu, Ian Wilson memprediksikan, jika terpilih, pada masa kepresidenan Prabowo terdapat perluasan pendekatan pemerintahan yang “tanpa oposisi”, yang dibingkai oleh kiasan nasionalis untuk menjaga persatuan. Logika dari pendekatan ini, yang sudah dianut oleh Jokowi, adalah untuk menghilangkan oposisi di parlemen dan membatasi munculnya basis kekuatan yang saling bersaing. 

Hal ini dilakukan bukan dengan represi terang-terangan, namun dengan kooptasi ke dalam koalisi besar yang berkuasa yang dikelola melalui negosiasi dan kesepakatan antar-elit. Prabowo pernah mengatakan bahwa ia bermaksud untuk melibatkan “semua pihak” dalam pemerintahan mana pun di masa depan. 

“Hal ini mirip dengan model berbasis “musyawarah” integralis yang disukainya, seperti yang diharapkan dalam UUD 1945, dan berfungsi untuk lebih memperkuat kekuasaan eksekutif.”

Dalam skenario seperti ini, proses inti demokrasi seperti pemilu dapat dipertahankan, meskipun dalam skala yang lebih kecil namun potensinya untuk menghasilkan perubahan substantif sebagian besar hilang. Meskipun demikian, proses-proses tersebut akan terus memberikan jalan penting bagi partisipasi masyarakat dan memberikan legitimasi terhadap status quo. 

“Jika Prabowo dapat mempertahankan popularitasnya seperti yang dilakukan Jokowi, ia mungkin akan merasa berani untuk menunjukkan kekuatan otoriternya dan sekali lagi mendorong pembatalan amandemen konstitusi pasca tahun 1999 dan diakhirinya pemilihan langsung,” ucap Ian Wilson.

Related

News 2157167480745094656

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item