Polemik KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama (Bagian 1)


Inisiatif Kementerian Agama yang ingin menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pusat pelayanan keagamaan bagi seluruh umat beragama termasuk tempat perkawinan, menuai kontroversi.

Beberapa pemuka agama mendukung, tapi ada juga yang menolak dengan alasan perkawinan sebagai urusan privat - sehingga pemerintah tidak perlu campur tangan.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan idealnya KUA memang untuk seluruh agama. Namun, agar tak muncul resistensi, dia menekankan pemerintah agar tidak mengintervensi terlalu dalam soal ajaran keagamaan yang berkenaan dengan perkawinan.

Lantas, seperti apa tanggapan masyarakat?

Gagasan itu pertama kali diungkapkan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam pada Jumat (23/02) lalu. Di situ, dia memaparkan idenya untuk menjadikan KUA sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama.

"Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama," ucapnya.

Tak cuma untuk tempat pernikahan, KUA juga akan mencatat pernikahan seluruh agama. "Sekarang ini jika kita melihat saudara-saudari kita yang non-muslim, mereka ini mencatat pernikahannya di pencatatan sipil. Padahal, itu harusnya menjadi urusan Kementerian Agama," paparnya.

Dengan mengembangkan fungsi KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam, Menag berharap data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik.

Diharapkan aula-aula yang ada di KUA bisa dimanfaatkan sebagai tempat ibadah sementara bagi umat lain yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Mereduksi kesakralan pernikahan?

Tapi beberapa pemeluk agama Kristen tak begitu setuju dengan rencana itu, seperti yang diungkapkan Seftianicha Windri Pandia. Warga Medan, Sumatra Utara, ini menikah dengan suaminya, Yosua Samuel Sitepu, di Gereja Jemaat Allah Indonesia (GJAI) pada pertengahan tahun lalu.

Baginya, inisiatif Menag menjadikan KUA sebagai tempat pernikahan semua agama berpotensi mereduksi kesakralan perkawinan. Sebab, sebagai penganut agama Kristen, pemberkatan harus dilakukan di gereja.

"Menurut saya jadi kurang sakral, karena penganut agama Kristen memang harus diberkati di gereja. Walaupun di KUA bisa, yang memberkati juga harus pendeta. Jadi saya kurang mendukung," tutur Seftianicha.

Jepri Zebua, warga Medan, juga berpikiran sama. Kata dia, rencana Menteri Agama agar melangsungkan pernikahan di KUA justru berpotensi menimbulkan gejolak dan membuka celah baru pungutan liar. Tapi selama KUA hanya menyangkut administrasi pencatatan, Jepri setuju.

Meski menurutnya yang lebih penting ketimbang mengurusi KUA, Menag sebaiknya fokus membenahi masalah izin pendirian rumah ibadah yang sulit diperoleh.

"Itu lebih prinsipil. Karena selama ini penerbitan izin rumah ibadah sangat panjang birokrasinya," ujar pria yang menikah di Gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Medan.

Memudahkan pengurusan administrasi pernikahan?

Warga Riau yang melangsungkan pernikahan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Cikampek pada Agustus tahun lalu, menyatakan mendukung ide Menag.

"Lebih bagus malah, biar lebih mudah lagi untuk yang akan menikah sehingga bagi yang beragama Kristen juga akan ada buku nikahnya," kata istri Aprianto Sibuea ini.

Master Sitinjak juga sepandangan. Menurutnya, menikah di KUA bakal memudahkan semua penganut agama serta bisa membenahi persoalan yang selama ini dialami banyak orang saat mengurus administrasi perkawinan.

"Bagus karena memudahkan non-muslim untuk mengurus catatan sipil dan membantu warga yang tinggal di pelosok.

Untuk diketahui, ribuan kantor KUA yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia berada di tingkat paling bawah yakni kecamatan. Sementara kantor catatan sipil mayoritas ada di kabupaten/kota.

Cerita tentang ribetnya mengurus surat-surat pernikahan dialami Nay Simbolon yang menikah pada Desember tahun 2023. Saat prosesi pemberkatan tidak ada kendala apa-apa, tapi ketika hendak mendaftarkan pernikahannya ke dinas catatan sipil baru muncul.

"Yang disayangkan saat proses pendaftaran ke dinas catatan sipil. Susah karena Sabtu mereka libur, padahal kita tahu pernikahan itu kebanyakan pada akhir pekan," ucapnya.

Seorang warga Bali asal Karangasem, juga merasakannya. Penganut agama Hindu dan bapak dua anak ini mengaku tidak mengalami kesulitan berarti dalam menjalani proses pernikahannya.

"Dari kepala dusun lalu kepala adat, ke kecamatan dan kemudian kabupaten, dalam hal mengurus akta perkawinan," ujarnya saat ditanyai di Kuta, Bali.

Akan tetapi untuk mengurus surat-surat pernikahan harus dengan bantuan kepala dusun. Ia bersama istri mesti mengisi data-data yang ada dalam formulir atau blanko.

Ia tak ingat betul berapa uang yang dikeluarkan untuk mengurus administrasi perkawinan. Namun katanya, tak terlalu besar jika dibandingkan dengan biaya prosesi perkawinan adat.

Bagaimana perdebatan antara pemuka agama?

Hingga saat ini belum ada kesamaan pandangan antara pemuka agama terkait rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tersebut.

Baca lanjutannya: Polemik KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama (Bagian 2)

Related

News 595721973470692927

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item