Polemik KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Polemik KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian di Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Pdt. Henrek Lokra, misalnya, meminta agar gagasan itu dipertimbangkan matang-matang. Ia menjelaskan, ajaran Kristen menyebutkan perkawinan dianggap sah jika pemberkatannya dilakukan di gereja sesuai dan diberkati oleh pendeta.

Adapun legalitasnya berupa pencatatan pernikahan dilakukan di Kantor Catatan Sipil.

Kalau di kemudian hari pemberkatan dan pencatatan permikahan dilakukan di KUA, katanya, maka itu menyalahi dua peraturan sekaligus: UU Perkawinan dan UU Adminduk.

"Jadi kita jangan dibuat bingung. Kalau dicatatkan di Kemenag, apakah perkawinan itu menjadi urusan sipil atau bagaimana?" ucap Pdt. Henrek Lokra. "Kalau alasannya untuk mengintegrasikan data, tidak terlalu urgen, kan bisa koordinasi lintas lembaga atau kementerian saja. Harus jelas mana bagian negara dan gereja, enggak bisa dicampur aduk karena ada namanya wilayah teologis dan aturannya yang tidak patut dicampuri oleh negara."

Untuk diketahui, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kemudian ayat 2 berbunyi, perkawinan sah apabila dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Perundang-undangan yang dimaksudkan itu merujuk pada pasal 3 angka 17 UU Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa setiap penduduk wajib melaporkan perkawinan kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan.

Artinya, perkawinan bagi umat muslim wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama, dan untuk pasangan non-muslim di Kantor Catatan Sipil.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, juga meminta Kemenag mengkaji idenya agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah umat dan masyarakat. Kata dia, bersandar pada aturan yang ada hingga saat ini, KUA masih berada di bawah Dirjen Bimas Islam yang mana direktorat yang mengurus bagian perislaman.

Jika aturannya tak diubah, maka pelaksanaannya nanti yang menikahkan pasangan agama Kristen, Buddha, atau Hindu adalah penghulu. "Yang namanya KUA bukan di bawah Dirjen Agama Katolik, Kristen, atau Hindu, Buddha," ucapnya.

Selain itu ia mengatakan banyak kantor KUA memakai tanah wakaf yang peruntukannya sudah jelas untuk masalah-masalah yang terkait dengan umat Islam. Kalau kemudian KUA digunakan untuk agama lain, dia khawatir akan menimbulkan masalah.

"Saya dengar banyak dari kantor-kantor KUA tanahnya banyak menggunakan tanah wakaf yang peruntukannya tentu sudah jelas untuk masalah-masalah yang terkait dengan umat Islam."

Berbeda dengan keduanya, Wakil Ketua Bidang Kebudayaan di Persatuan Hindu Dharma Indonesia, Mangku Dhanu Way Sudarma, mendukung rencana Menteri Yaqut.

Jika KUA -yang ada di tingkat kecamatan- bisa dijadikan tempat pencatatan pernikahan, maka umat Hindu yang tinggal di desa-desa tak perlu repot-repot lagi mengurus administrasi perkawinan mereka ke kantor catatan sipil.

"Rata-rata yang menikah itu tinggal di desa, sementara kantor catatan sipil itu biasanya di kabupaten atau kota. Jaraknya sangat jauh," imbuhnya. "Makanya ada perkawinan yang secara agama saja atau adat saja."

Kantor KUA juga, sambungnya, bisa difungsikan untuk pelayanan bimbingan calon pengantin, kesehatan reproduksi, penurunan stunting. Atau pembinaan bagi keluarga yang bermasalah, KDRT, rujuk dan perceraian. "Dan pelayanan agama lainnya seperti pengurusan izin pendirian rumah ibadah, kehidupan beragama."

Soal prosesi pernikahan, di ajaran Hindu pelaksanaan upacara perkawinan tidak dilakukan di rumah ibadah atau pura. Tapi di rumah atau gedung serbaguna sepanjang perangkat agama seperti pendeta, pihak adat, dan majelisnya terpenuhi.

Pelaksana Harian DPP Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), Eric Fernando, juga setuju sepanjang KUA difungsikan sebagai tempat pencatatan pernikahan semua agama. Dengan begitu, para calon pengantin semakin mudah mengurus pencatatan pernikahannya.

Karenanya Kementerian Agama diminta menyiapkan regulasi yang bisa mengkoordinasikan antar-lembaga dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil ke KUA.
 
"Selain itu Kemenag juga perlu melakukan rekrutmen sumber daya manusia agar nantinya kebijakan ini bisa terlaksana dengan lancar," kata Eric. "Misalnya merekrut penghulu ASN maupun penghulu non-ASN di masing-masing agama."

Di ajaran Buddha, upacara pernikahan bisa dilakukan di rumah ibadah atau gedung asalkan diperkenankan untuk melakukan dekorasi dan ada rupang Buddha. Adapun untuk mengurus surat surat keterangan perkawinan bisa memakan waktu dua minggu setelah dukcapil menerima laporan surat keterangan perkawinan.

Jubir Menag: Pernikahannya tidak harus di KUA

Juru bicara Kemenag, Anna Hasbie, memahami keresahan para pemuka agama dan masyarakat. Ia bercerita, alasan mengapa wacana ini mengemuka karena KUA adalah satuan kerja yang paling dekat dengan masyarakat yang keberadaannya ada di tingkat kecamatan.

Data Kementerian Agama sampai tahun 2022 mencatat ada 5.913 unit KUA yang tersebar di seluruh wilayah tingkat kecamatan di Indonesia. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 5.901 unit.

Adapun fungsi KUA paling besar selama ini untuk pelaksanaan pernikahan, pencatatan, rujuk, wakaf, zakat, dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan.

Namun, dalam beberapa kasus di daerah-daerah yang mayoritas Kristen, Katolik atau Hindu, kata Anna Hasbie, peran KUA jadi minim lantaran pelayanan kepada umat Islam sedikit.

Baca lanjutannya: Polemik KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama (Bagian 3)

Related

News 6841650379124825323

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item