Mengapa Dubai Dihantam Hujan dan Banjir? Ini Penjelasan Ahli


Kota gurun Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), mengalami banjir tak biasa pada Senin (15/4). Masyarakat setempat menuding terjadinya banjir bandang ini akibat upaya pemerintah melakukan cloud seeding atau penyemaian awan.

Untuk diketahui, program penyemaian awan mengirimkan pesawat ke awan badai yang akan datang untuk menyuntikkan zat yang dapat membantu menghasilkan lebih banyak hujan. Mungkinkah hal ini jadi penyebab menggelontornya 'jatah' hujan setahun hanya dalam sehari di Dubai?

Penjelasan ini memang sangat menarik. Mencoba mengendalikan cuaca terdengar seperti cosplay menjadi Tuhan atau dewa. Dan jika dihubung-hubungkan dengan mitos dan berbagai legenda lisan selama ribuan tahun, mulai dari kisah Prometheus hingga Frankenstein, bermain-main sebagai Tuhan diyakini akan mendatangkan azab atau petaka.

UEA telah menyebarkan awan untuk mendorong curah hujan dan memerangi kekeringan selama 20 tahun. Beberapa negara telah menerapkan hal ini lebih lama lagi. Program-program ini menemukan bahwa praktik tersebut hanya berdampak kecil terhadap curah hujan, yaitu meningkatkan curah hujan sekitar 5 hingga 15%, meskipun seorang pejabat UEA mengatakan bahwa, bagi mereka, dampaknya bisa mencapai 30%.

Banyak negara lain, termasuk China, Australia, dan Indonesia juga pernah bereksperimen dengan teknik ini. Indonesia menggunakannya saat menurunkan hujan untuk membilas polusi udara yang sangat parah. Menurut beberapa ilmuwan, penyemaian awan bukanlah penyebab terjadinya banjir paling bersejarah di Dubai ini.

Cara kerja penyemaian awan

Untuk 'menyemai' awan, kita harus menyemprotnya dengan partikel garam mikroskopis seperti perak iodida, kalsium klorida, atau kalium klorida. Di UEA dan banyak negara, pesawat dapat melakukan pekerjaan tersebut. Bahkan di beberapa tempat, seperti Utah, Amerika Serikat (AS), mesin di darat menembakkan zat tersebut ke aliran udara yang dapat membawanya ke awan.

Semua partikel ini memiliki struktur kristal, mirip es, yang membuat tetesan air dapat menempel. Saat air menyatu, ia membentuk kristal es dan akhirnya jatuh sebagai salju atau hujan. Cara ini meniru proses pembuatan hujan alami yang terjadi di awan.

"Penyemaian awan tidak bisa menciptakan awan dari ketiadaan. Hal ini mendorong air yang sudah ada di langit mengembun lebih cepat dan menjatuhkan air di tempat-tempat tertentu. Jadi pertama-tama, kita memerlukan kelembapan. Tanpa adanya kelembapan, tidak akan ada awan," kata Friederike Otto, dosen senior ilmu iklim di Imperial College London, dan salah satu pendiri kolaborasi sains inovatif World Weather Attribution dalam sebuah pernyataan kepada Science Media Center (SMC), dikutip dari Business Insider.

Ancaman nyata di balik banjir Dubai

Banyak ilmuwan atmosfer yang menolak anggapan bahwa penyemaian awan adalah penyebab banjir di Dubai. Para ahli mengatakan bahwa hujan tersebut berasal dari sistem awan petir yang jarang terjadi, yang diperkirakan akan membawa hujan deras, dan dampak dari penyebaran awan akan sangat kecil.

Di sisi lain, ini menjadi sebuah pengalihan perhatian dari kenyataan yang ada. Karena jika dirunut lebih jauh, peristiwa ekstrem semacam ini terjadi karena kegagalan kolektif manusia dalam menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan menahan laju pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim.

"Kita harus bersiap menghadapi kondisi ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang akan semakin memburuk hingga kita mencapai 'net zero emission' (emisi nol bersih)," kata John Marsham, seorang ilmuwan atmosfer dan Met Office Joint Chair di University of Leeds.

Meningkatnya suhu global menyebabkan curah hujan yang lebih tinggi di seluruh dunia, bahkan di tempat-tempat yang biasanya kering atau bahkan di tengah kekeringan. Jenis cuaca ekstrem ini terjadi karena fakta dasar fisika: udara yang lebih hangat menampung lebih banyak air.

"Efek yang mungkin timbul dari penyemaian awan dalam kondisi seperti ini sangatlah kecil," tambah Marsham.

UEA bukan satu-satunya wilayah gurun atau kekeringan yang dilanda hujan deras dalam beberapa tahun terakhir. Death Valley yang tandus di California, AS, mengalami banjir besar dan bersejarah pada tahun 2022, 2023, dan Februari tahun ini.

Serangkaian sungai di atmosfer yang mengandung uap air mengganggu kekeringan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di California pada musim dingin lalu, menewaskan sedikitnya 22 orang. Berbagai bencana akibat perubahan iklim pun semakin sering terjadi di berbagai belahan Bumi.

"Jika manusia terus membakar minyak, gas, dan batu bara, iklim akan terus memanas, curah hujan akan semakin deras, dan manusia akan terus kehilangan nyawa akibat banjir," tutup Otto.

Related

Science 7678795877374049362

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item