Ramadan: Masalah Toa Masjid yang Belum Juga Usai (Bagian 1)


Memasuki awal Ramadan, sikap tidak peduli pengelola masjid atas keluhan warga yang terganggu penggunaan "terlalu berlebihan" pengeras suara (speaker), kembali dipersoalkan. Peraturan yang "terlalu longgar" dianggap sebagai biangnya. Apa jalan ideal guna menyelesaikan masalah yang dianggap sensitif ini?

Kritik terhadap sebagian pengelola masjid yang tidak memedulikan pedoman tentang pengelolaan penggunaan alat pengeras suara, muncul lagi di awal Ramadan ini. Keluhan warga yang merasa terganggu atas suara speaker masjid "yang berlebihan" itu tak hanya disuarakan umat di luar Islam, tetapi juga dari kalangan Muslim sendiri.

Ini disadari oleh Kementerian Agama yang kemudian melahirkan semacam imbauan yang mengatur tentang hal itu, belakangan. Imbauan seperti ini diakui bukanlah pedoman baru, karena sudah ada peraturan serupa yang dibuat sekian tahun silam. Dan faktanya, tidak semua masjid di Indonesia "mematuhi" peraturan tersebut, walau mendapat dukungan dari sebagian pimpinan masjid-masjid lainnya.

Sampai sekarang, ada sebagian masjid yang tetap menggunakan alat pengeras suara "secara berlebihan". Ada anggapan imbauan itu tidak digubris, karena tidak ada sanksi tegas kepada pengelola masjid yang bandel. Namun di sisi lain muncul pula penilaian bahwa upaya penyelesaian atas persoalan seperti ini tidak bisa hanya diserahkan kepada negara.

Sebuah lembaga yang peduli terhadap isu toleransi, SETARA Institute mengatakan, dibutuhkan peran konkret para pemuka agama untuk melakukan peran persuasif demi mewujudkan nilai-nilai toleransi dalam aktivitas peribadatan di masyarakat yang majemuk.

“Saya cenderung lebih mendorong kesadaran dari masing-masing tokoh agama. Kecuali ini sudah sangat menganggu dan derajatnya sudah sangat tinggi, barulah regulasi itu penting,” kata Direktur Riset SETARA Institute Halili, Selasa (12/03).

Semata imbauan, dan tidak ada sanksi

Beberapa masjid memang tidak mengikuti Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang tertera pada Surat Edaran No. 5 Tahun 2022. Namun, ada pula yang mematuhinya, bahkan sebelum Surat Edaran terbit.

Juru bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, menjelaskan bahwa surat tersebut merupakan turunan dari instruksi dirjen yang sudah ada sejak 1978. Ia mengatakan Surat Edaran hanya berupa anjuran dan memang tidak mengandung sanksi.

“Surat Edaran itu bukan norma hukum. Artinya memang dia tidak mengatur soal sanksi. Surat Edaran ini mengikat secara internal dan dipatuhi oleh seluruh warga Kemenag di seluruh Indonesia,” ujar Anna.

Salah satu poin edaran tersebut mengatur agar penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah atau kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam. Selain itu, pedoman pengeras suara juga mengatur agar volume pengeras suara disesuaikan agar tidak melebihi 100 desibel (db).

Warga buka suara soal pengeras suara masjid

Warga yang tinggal di Beji, Depok, Dian Amalia, mengaku mendengar suara toa masjid paling tidak lima kali sehari. Ia mengatakan suaranya bertambah keras sejak memasuki masa Ramadan.

“Sebenarnya kalau suara keras tidak apa-apa, tapi jangan lama dan berulang kali. Dan digunakan memang seperlunya saja,” ujar Dian yang mengaku bisa mendengar suara masjid sampai berjam-jam dari kosnya.

Dian, yang memeluk agama Islam, mengambil contoh ketika dia mendengar suara orang mengaji di sebuah masjid, melalui pengeras suara. Dian berujar bahwa sebaiknya aktivitas itu dilakukan tanpa pengeras suara luar. Alasannya hal itu dapat menganggu ketenangannya.

“Kalau sudah cukup, sudah. Jangan sampai sejam tadarusnya, atau membangunkan orang lain untuk sahur, karena orang juga beda-beda jam sahurnya,” sambungnya.

Senada dengan Dian, Sari, bukan nama sebenarnya, mengaku beberapa kali terbangun akibat suara-suara dari alat pengeras suara luar dari sebuah masjid di dekat rumahnya. Ini biasanya terjadi di pagi hari. Dia lalu bercerita, suara-suara itu kadang-kadang membuatnya "tidak fokus" ketika ibadah gereja online dari rumahnya.

“Sejujurnya sering merasa terganggu, terutama saat suaranya tidak tentu. Jam berapa pun bisa kencang suaranya, apalagi saat hari Minggu. Itu yang menurutku perlu dipertimbangkan, kita sebagai orang Kristiani seharusnya bisa beribadah, itu juga terinterupsi oleh suara dari masjid,” ungkapnya.

Meski begitu, ia memahami keperluan warga sekitar yang beragama Islam akan suara masjid yang menandakan waktu menjalankan ibadah atau berbuka puasa. Namun, ia berharap ke depannya mereka juga memikirkan warga non-muslim yang tinggal berdampingan di daerah tersebut.

Surat Edaran tidak dipakai oleh masyarakat

Pengurus Masjid Jami Al Ma'mur, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ghozi Abudan, mengatakan bahwa selama ratusan tahun, masjid Al Ma’mur sudah menggunakan pengeras suara dalam dan luar saat melakukan tarawih.

“Masjid ini sudah lama, warga sekitar juga banyak yang non-muslim. Tidak pernah ada apa-apa. Sudah ratusan tahun masjid ini berdiri dan selama ini enggak ada keluhan,” kata Ghozi.

Ia menjelaskan bahwa masjid perlu menggunakan pengeras suara luar untuk menandakan pada warga sekitar bahwa sudah waktunya tarawih. Walaupun sudah ada pedoman yang mengatur tentang hal itu, Ghozi tidak merasa bahwa Surat Edaran dari Kemenag berlaku bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan suara masjid.

“Surat Edaran sudah lama itu dan enggak dipakai oleh masyarakat. Karena mereka tidak merasakan bagaimana [keinginannya] masyarakat, apalagi di daerah yang jauh-jauh. Bagaimana masjid bisa terdengar?” ujar Ghozi.

Baca lanjutannya: Ramadan: Masalah Toa Masjid yang Belum Juga Usai (Bagian 2)

Related

News 388301948491702054

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item