Ramadan: Masalah Toa Masjid yang Belum Juga Usai (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Ramadan: Masalah Toa Masjid yang Belum Juga Usai - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sementara, salah seorang pengurus Masjid Agung Jami di Malang, Jawa Timur, Zaenal Fanani, mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menggunakan pengeras suara luar, baik untuk tarawih maupun tadarus. Bahkan, katanya, mereka sudah menggunakan pengeras suara dalam jauh sebelum Kemenag mengeluarkan Surat Edaran Nomor 5 tahun 2022.

“Sudah dari dulu, kebijakan para kyai-kyai terdahulu, karena kebetulan di kota besar di sini dan juga orangnya majemuk. Dan kita kebetulan sampingnya juga ada gereja,” ujar Zaenal.

Ia mengatakan bahwa sampai sekarang, pimpinan masjid meneruskan kebijakan itu dan menggunakan alat pengeras suara (speaker) untuk dikonsumsi orang-orang di dalam masjid semata. Bahkan untuk aktivitas tadarus, mereka cuma menyiarkannya ke saluran radio dan disiarkan paling lambat sampai 21.30 WIB.

“Jadi enggak didengar orang di mana-mana. Orang di sekitar masjid juga tidak dengar,“ katanya. Meski begitu, ia merasa bahwa kebijakan menggunakan pengeras suara dalam atau luar, tergantung pada pengurus masjid masing-masing.

Bagaimana peraturan tentang penggunaan pengeras suara masjid saat Ramadhan?

Dalam Surat Edaran Nomor SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, peraturan itu diperlukan untuk mencegah timbulnya “potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat.”

Dalam bagian Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara, pengurus masjid diminta untuk memisahkan antara pengeras suara untuk luar masjid dan yang digunakan di dalam masjid. Kemudian, volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh melebihi 100 desibel (db).

Selama bulan Ramadan, pelaksanaan salat tarawih, ceramah atau kajian Ramadan, dan tadarus Al-Qur’an dilakukan dengan pengeras suara dalam. Sementara, untuk takbir pada tanggal 1 Syawal atau 10 Zulhijjah dan pelaksanaan salat Idul Fitri dan Idul Adha, masjid dapat menggunakan pengeras suara luar.

Kemudian, takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai 13 Zulhijjah setelah salat Rawatib, dapat menggunakan pengeras suara dalam.

“Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang,” demikian bunyi surat tersebut.

Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan bahwa secara hukum, Surat Edaran bukanlah sebuah regulasi. Sehingga, tidak ada sanksi yang tertera di dalamnya ataupun jaminan bahwa masjid harus mengikuti pedoman tersebut.

“Berbeda kalau itu dituangkan dalam bentuk peraturan menteri atau ketetapan menteri. Sehingga bentuk regulasi itu hanya anjuran,” kata Halili.

Meski begitu, ia mengatakan tidak dapat dipungkiri juga bahwa dengan kelonggaran regulasi tersebut, daerah-daerah yang padat penduduk yang tidak semua beragama Islam, dapat merasa terganggu dengan suara masjid yang tidak sesuai pedoman.

Oleh karena itu, menurut Halili, diperlukan pendekatan yang berbasis kepemimpinan masyarakat alias social leadership untuk memastikan pengurus masjid dan masyarakat sekitar bisa saling memahami situasi dan menyesuaikan diri.

“Tidak perlu pihak eksternal melakukan pembatasan. Yang dibutuhkan adalah toleransi, itu sebenarnya sering kita sebut sebagai pengorbanan. Kita mesti mau berkorban untuk yang lain,” ujar Halili.

Apa sanksi terhadap masjid yang tidak taat?

Juru bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, menjelaskan bahwa Surat Edaran dalam sistem pemerintahan memang tidak memiliki keterikatan hukum, sehingga tidak ada sanksi yang diterapkan jika pedoman dalam Surat Edaran itu dilanggar.

“Karena kami kementerian, bukan penegak hukum. Kalau itu masing-masing ada fungsinya, ada aparat penegak hukum, kalau sanksi dan undang-undang ada di legislatif,” kata Anna.

Meski begitu, ia sebut Surat Edaran tersebut dibuat dengan alasan agar menjadi pedoman bagi penyuluh atau pembimbing masyarakat dalam mensosialisasikan tata cara tersebut kepada pengurus masjid.

”Surat edaran itu ada untuk mengingatkan bahwa ada pedoman itu, sehingga ketika mereka bersosialisasi dengan binaan mereka, mereka bisa menyampaikan hal ini,” ujarnya.

Anna menyatakan bahwa masjid atau musala biasanya dikelola oleh warga setempat untuk warga setempat. Sehingga, pendekatan yang bisa dilakukan adalah lewat para pembina masyarakat, dalam bentuk dialog.

”Dan perilaku sosial itu memang tidak bisa berubah langsung seketika. Kalau mau berubah langsung memang dengan sanksi hukum, tapi kalau perubahan sosial itu, dilakukan secara bertahap,” ungkap Anna.

Bagaimana tanggapan dari Dewan Masjid Indonesia?

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI), Imam Addaruqutni, mengatakan bahwa DMI tidak memandang imbauan menteri sebagai "pembatasan dakwah" lewat pengaturan pengeras suara masjid.

“Jadi memang ada efek, dalam arti pengurangan intensitasnya, karena jumlah masjid semakin banyak,” kata Imam.

Ia mengatakan terkadang jarak antar-masjid yang berdekatan juga membuat suara berbenturan. Sehingga, Imam merasa pengaturan penggunaan pengeras suara diperlukan untuk menjaga “harmoni sosial dan kehidupan masyarakat”.

Meski begitu, ia menyadari bahwa tidak semua masjid mematuhi pedoman tersebut. Tetapi ia juga berharap akan ada "perkembangan proses budaya" yang dapat membuat masyarakat mampu menilai sendiri pentingnya menjaga kehidupan harmonis, khususnya di perkotaan. 

“Kami tidak mengecam yang menggunakan [pengeras suara] atau tidak mematuhi, tapi mudah-mudahan mereka tidak menanggapinya sebagai - bahwa imbauan menteri itu dimaksudkan sebagai membatasi syiar-syiar agama islam,” ungkap Imam.

Related

News 1688826805258752629

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item