Bumi Manusia: Dulu Dilarang, Sekarang Masuk Kurikulum (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Bumi Manusia: Dulu Dilarang, Sekarang Masuk Kurikulum - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Di jenjang SMA, beberapa judul antara lain novel karya Ayu Utami berjudul Saman (1998) bertemakan seksualitas dari sudut pandang perempuan dan kumpulan puisi Perempuan Yang Dihapus Namanya (2010) karya Avianti Armand yang mengisahkan ulang tokoh-tokoh perempuan dalam kitab suci. Selain itu ada pula Orang-Orang Bloomington (1980) karya Budi Darma.

“Dalam proses [kurasi] ada beberapa buku yang akhirnya gugur, harus ditukar jenjang, atau dicari judul lain dari penulis yang sama,” ujar Okky Madasari.

Buku-buku yang gugur antara lain Aksara Amananunna karya Rio Johan dan kumpulan puisi M. Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja. Okky menjelaskan meski Aksara Amananunna adalah karya yang bagus dan memenangkan penghargaan, bagian yang menggambarkan hubungan sejenis dinilai belum layak dibaca anak sekolah.

“Tim pengkaji guru meminta agar karya tersebut tidak masuk. Adapun buku puisi Aan setelah dicek kembali ada ilustrasi orang telanjang,” ujarnya.

Apa reaksi guru dan orang tua murid terhadap 177 buku sastra rekomendasi ini – terutama buku Pramoedya?

Yulianeta, dosen di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Jawa Barat dengan fokus di bidang studi sastra, mengapresiasi masuknya rekomendasi sastra-sastra untuk jenjang SD, SMP, dan SMA – khususnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang masuk jenjang SMA.

“Dulu ada cap kiri ketika membaca karya-karya Pramoedya ketika Orba, tapi setelah reformasi karya-karya Pram bebas dibaca dan bahkan dicetak ulang kembali oleh Hasta Mitra, dan seterusnya,” ujar Yulianeta, yang sebagai pengajar selalu mewajibkan mahasiswanya minimal membaca tiga karya Pramoedya untuk bahan diskusi.

“Saya masih ingat tahun 1990-an, mahasiswa sembunyi-sembunyi membaca dan diskusi karya Pramoedya. Apa yang ditakutkan oleh pemerintah masa itu dengan sebuah kisah?”

Yulianeta menilai pemikiran Pramoedya sangat penting untuk diketahui generasi muda karena karyanya mengajak orang-orang berpikir kritis dan percaya diri sebagai bangsa. Dia pun menelaah novel-novel Pramoedya dan, di kelasnya, Yulianeta menjadikan perempuan-perempuan yang menjadi tokoh di karya Pramoedya sebagai contoh konkret perempuan berdaya.

“Meskipun sastra ada imajinasi di dalamnya tetapi selalu ada kebaikan di dalamnya. Saya yakin dengan semakin banyak membaca sastra terutama karya-karya yang beragam dan bernilai akan memotivasi lahirnya penulis-penulis yang baik di masa depan,” katanya.

Fransiskus Balo, 30 tahun, guru di Nita, Maumere, Nusa Tenggara Timur, mengatakan dirinya siap mengenalkan karya-karya seperti Bumi Manusia kepada anak didiknya. Menurutnya, buku seperti karya Pramoedya perlu dikenalkan kepada generasi muda.

“Justru dengan menghilangkan kisah-kisah sejarah itu, bangsa kita kehilangan jati diri, bangsa yang berdiri di atas narasi palsu. Saya kira sudah saatnya bangsa kita sudah harus lebih jujur akan eksistensi dirinya. Sebagai guru, saya bersedia mengajarkan kepada peserta didik saya,” ujarnya.

Fransiskus berharap 177 judul karya sastra itu tidak membuat para pendidik dan peserta didik menjadi terpaku apabila ingin mengakses karya-karya sastra dari tokoh-tokoh daerahnya sendiri yang barangkali lebih mereka minati.

Di sisi lain, Fransiskus menilai sastra sering diabaikan dalam pembelajaran karena “lebih sering dianggap minat”.

Dia pun berharap Kemendikbud-Ristek dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk memfasilitasi guru-guru di daerah untuk mengajarkan karya-karya sastra ini. “Lakukan sosialisasi, pembinaan, pembekalan, dan lain-lain. Terutama kepada para tenaga pendidik.”

Indriati Yulistiani, 52 tahun, yang tinggal di Tangerang, Banten, dan memiliki putri kelas 5 SD, mengakui adanya “sejarah yang kelam” dari novel Bumi Manusia.

Meski begitu, Indri yang sudah membaca dan mempunyai buku karya Pramoedya mengatakan tidak masalah apabila anak perempuannya suatu saat membaca buku-buku yang dulu dinilai kontroversial itu. “Malah bagus karena itu buku-buku berat yang tidak semua anak akan membacanya,” ujarnya.

Seperti apa langkah pemerintah ke depan setelah muncul rekomendasi sastra ini?

Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud-Ristek, Anindito Aditomo, mengatakan setelah peluncuran program Sastra Masuk Kurikulum, buku-buku yang direkomendasikan sudah resmi menjadi bagian dari bahan pembelajaran Kurikulum Merdeka. 

“Guru sudah bisa mulai mengeksplorasi, mempelajari, dan mulai merencanakan pembelajaran untuk tahun ajaran yang akan datang,” ujarnya.

Selain rekomendasi buku, sambung Anindito, Sastra Masuk Kurikulum juga menyediakan perangkat ajar yang membantu guru memilih buku atau karya sastra yang sesuai dengan minat dan kemampuan muridnya.

“Sosialisasi dan berbagai modul ajar disediakan di Platform Merdeka Mengajar agar guru bisa membayangkan cara menggunakan karya sastra dalam pembelajarannya,” ujarnya.

Secara terpisah, pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti mengapresiasi kebijakan Kemendikbud-Ristek yang memasukkan buku-buku rekomendasi yang “sudah mulai variatif” termasuk “buku-buku yang dilarang” sekarang mulai diperkenankan bahkan didorong untuk dibaca para peserta didik.

“Saya rasa ini sesuatu yang sangat positif. Anak-anak kita berhak membaca apa pun. Kalau kita keberatan akan suatu isi buku, kita melawannya dengan menulis buku tandingan, bukan dengan membakarnya atau melarangnya – misalnya Bumi Manusia,” ujar Retno.

“Biarkan [anak-anak] belajar berpikir. Kalau Kurikulum Merdeka, ya, seharusnya memerdekakan cara berpikir. Biarlah anak-anak kita itu menemukan kebenaran dalam sejarah bangsanya.”

Selain itu, Retno juga menyambut baik upaya Kemendikbud-Ristek karena menurutnya Indonesia termasuk dalam kategori “nol buku”.

“Dari hasil riset, yang dijadikan sampel beberapa negara oleh UNESCO, anak-anak Indonesia itu ternyata hanya membaca 37 halaman buku dalam satu tahun,” ujarnya. “Mudah-mudahan [program ini] meningkatkan minat baca karena ada kebebasan membaca tanpa rasa ditakut-takuti.”

Data UNESCO dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) mendapati indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001 persen, menurut Kompas.com.

Pendapat Retno senada dengan Bonar Tigor Naipospos, aktivis yang pernah dipenjara karena Bumi Manusia yang kini masuk rekomendasi pemerintah.

Bonar lebih memikirkan bagaimana generasi muda yang mengandalkan dunia digital tetap bisa menerima buku-buku sastra yang direkomendasikan Kemendikbud. Dia mencontohkan ketika Bumi Manusia difilmkan pada tahun 2019 dan bisa dikatakan tidak terlalu sukses.

Film Bumi Manusia yang disutradarai Hanung Bramantyo dan dirilis Falcon Pictures pada 2019 ditonton sekitar 1,3 juta orang, menurut data situs Film Indonesia.

Sebagai perbandingan, film paling laris tahun itu, Dilan 1991, film drama romantis tentang problematika remaja 1990-an yang dirilis Max Pictures, ditonton 5,2 juta orang.

“Mesti dipikirkan bagaimana supaya nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya besar kemudian tetap relevan untuk anak muda,” uja Bonar.

Related

News 9204722140086851714

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item