Kisah Terindah di Dunia (3)

 Kisah Terindah di Dunia

Naviri.Org - Nazar memperhatikan jari-jari Amina yang tengah menyeka anak-anak rambutnya yang terhembus angin, dan di luar dugaannya sendiri, Nazar berkata perlahan, “Kau...kau cantik sekali, Amina.”

Amina merasakan pipinya memerah, dan rasanya noda lumpur yang melekatinya seperti meleleh. “Kau pasti mengejekku,” kata Amina dengan salah tingkah.

Nazar menggeleng perlahan. Dan tersenyum. Dan Amina merasa tak mampu untuk tidak membalas senyum itu, meski dengan kaku. Dan hamparan padi di sawah di sekeliling mereka seperti sengaja menunduk untuk memberikan kesempatan bagi mereka untuk merasakan suatu debar perasaan yang tiba-tiba muncul. Dan matahari semakin bersembunyi di balik awan. Dan langit semakin menampakkan mendung yang sayu. Dan angin pun, mungkin, berhembus dengan cemburu...

***

Amina dan Nazarudin saling mencintai, dan dua orang itu pun—sebagaimana yang terjadi di jaman sekarang—berpacaran, meski dengan cara dan gaya yang jauh berbeda dengan gaya pacaran anak-anak muda di masa sekarang. Mereka tidak bisa bertemu setiap saat karena adat di Pekalongan waktu itu masih menabukan pertemuan lelaki-perempuan secara intens.

Biasanya, Amina dan Nazar saling bertemu secara diam-diam ketika di Pekalongan ada pasar malam atau ketika di kampung mereka ada yang menggelar layar tancap. Ketika ada keramaian seperti itu, biasanya Amina akan pergi dari rumah bersama kawan-kawan perempuannya untuk menonton acara itu, begitu pula dengan Nazar.

Lalu di tempat keramaian itu mereka saling bertemu, memisahkan diri dari kawan masing-masing, dan menikmati keberduaan. Saat malam mulai agak larut, mereka pun kembali pada kawan-kawannya masing-masing untuk pulang.

Tetapi acara pasar malam dan layar tancap tidak setiap hari ada di Pekalongan. Acara-acara keramaian semacam itu bahkan tidak setiap bulan diadakan. Sementara, rasa rindu dan hasrat ingin bertemu selalu ada di dalam hati Nazar, dan juga Amina. Terkadang, ketika rasa rindu terasa sudah tak mampu terbendung lagi, Nazar pun memberanikan diri untuk bertandang ke rumah Amina—dengan sejuta alasan, dari yang masuk akal sampai yang paling tidak masuk akal.

Ehm, waktu itu di Pekalongan belum mengenal istilah apel malam Minggu atau yang semacamnya, juga belum ada telepon, apalagi ponsel, apalagi SMS, apalagi 3G yang bisa membuat mereka berjumpa face to face tanpa harus bertemu. Satu-satunya cara pertemuan yang bisa dilakukan waktu itu hanyalah bertemu secara langsung seperti itu, meski untuk itu Nazar biasanya akan berkeringat dingin di sekujur tubuhnya setiap kali mengetuk pintu rumah Amina dan mendapati ayahnya membukakan pintu untuknya.

Mungkin, bentuk dan ekspresi cinta berubah seiring dengan pergantian waktu atau perubahan zaman, namun secara esensial—menurutku—cinta dan rasa cinta tak pernah berubah. Ia adalah sesuatu yang memabukkan, melenakan, dan bagi siapapun yang menyentuhnya, cinta membuat semacam kecanduan yang sulit untuk dihentikan.

Begitu pula dengan Amina dan Nazar waktu itu. Mereka merasa sulit untuk menghentikan hasrat ingin bertemu mereka, dan rasanya, setiap hari, setiap malam, kedua orang itu ingin selalu bertemu, berjumpa, bertatap muka, berpandang mata.

Setiap hari, saat mencangkul di sawah, Nazar sepertinya ingin hari segera menjadi siang, dan ia akan kembali menyaksikan Amina yang berjalan di pematang sawah, membawakan makanan untuk ayahnya, dan Nazar akan menghentikan pekerjaannya, berdiri dari kejauhan untuk menatap keindahan di matanya.

Setiap malam, ketika membaringkan tubuhnya di atas balai-balai di kamarnya, Amina merasa kedua matanya sulit untuk terpejam karena bayangan Nazar seperti menari-nari di pelupuk matanya—seperti kunang-kunang, seperti cahaya, seperti bintang-bintang...

Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (4)

Related

Romance 4658596600264741158

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item