Mengenal Sejarah Golput Alias Golongan Putih

Mengenal Sejarah Golput Alias Golongan Putih

Naviri.Org - Pada masa pemilu di zaman Orde Baru, istilah Golput cukup populer. Istilah ini merujuk pada sikap “tidak memilih”. Golput merupakan singkatan “golongan putih”, dan menjadi istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971, yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik, jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.

Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman, yang tidak lain adalah adik Soe Hok Gie, salah satu tokoh legendaris Indonesia. Nama asli Arief Budiman adalah Soe Hok Djin, dan dia dikenal sebagai aktivis demonstran Angkatan '66. Pada waktu itu, dia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di Jakarta.

Sementara pencetus istilah “Golput” adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara, di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara.

Namun, kala itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), karena akan ditandai. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.

Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan. Arief Budiman, sebagai salah seorang eksponen Golput, berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun.

Menurut kelompok ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI. Kebanyakan tokoh pencetus Golput adalah “Angkatan ‘66”, walaupun sebagian tokoh “Angkatan ‘66” diakomodasi Orba dalam sistem. Mereka ada yang menjadi anggota DPR-GR, bahkan Menteri.

Namun, ada pula yang tetap kritis melawan rezim baru yang dianggap mengingkari janji itu. Pencetusan gerakan itu disambung dengan penempelan pamflet kampanye yang menyatakan tidak akan turut dalam pemilu. Tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih, kampanye tersebut langsung mendapat respons dari aparat penguasa.

Baca juga: Ternyata Malaysia Tidak Sedamai yang Kita Sangka

Related

Insight 8018675145482381046

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item