Di Balik Skandal Kebohongan Ilmuwan dan Peneliti

Di Balik Skandal Kebohongan Ilmuwan dan Peneliti

Naviri.Org - Beberapa orang ilmuwan/peneliti Indonesia pernah tersandung masalah berupa klaim tak berdasar atau dengan kata lain kebohongan. Skandal kebohongan terbaru adalah yang terjadi pada Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft Belanda. Setelah sempat dielu-elukan media di Indonesia, belakangan Dwi Hartanto mengakui kalau semua klaim terkait prestasinya hanya bohong belaka.

Semula, Dwi Hartanto mengaku bahwa dirinya merupakan kandidat doktor di bidang space technology & rocket development, sedang faktanya ia adalah doktor di bidang interactive intelligence dari Department Intelligent of Systems, TU Delft, Belanda.

Ia juga pernah mengklaim bahwa ia bersama timnya telah merancang bangun Satellite Launch Veihicle, sementara fakta sebenarnya tidak demikian. Dalam surat bermaterai dan permohonan maaf tertanggal Sabtu (7/10/2017), Dwi Hartanto menjelaskan posisinya tidak lebih dari bagian proyek amatir mahasiswa di kampusnya.

Berbagai prestasi yang selama ini diklaim Dwi membuatnya dianugerahi penghargaan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia. Setelah diketahui klaim-klaim tersebut bohong belaka, KBRI Den Haag mencabut penghargaan tersebut.

Dwi Hartanto bukan satu-satunya peneliti yang pernah melakukan kebohongan di ranah penelitian. Sebelumnya, Khoirul Anwar, wakil ketua di Ikatan Peneliti Indonesia Internasional (I-4), yang mendapatkan penghargaan karya ilmiah terbaik untuk kategori Young Scientist, pernah mengklaim dirinya sebagai penemu teknologi 4G Long Term Evolution (LTE). Padahal, Khoirul hanya mematenkan komponen pendukung 4G LTE.

Selain itu, Umar Hasan Saputra, dosen IPB, juga pernah mengklaim menemukan pupuk Nutrisi Saputra yang mampu meningkatkan produksi padi, sedangkan faktanya, menurut hasil uji coba Badan Litbang Pertanian, Nutrisi Saputra hanya mengandung satu dari 16 unsur minimal suatu produk pupuk.

Kebohongan seperti yang dilakukan Dwi Hartanto dan peneliti lainnya akan merusak kredibilitas penelitian mereka sendiri, sekaligus mencemari dunia keilmuwan secara luas.

Kebohongan-kebohongan tersebut bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap peneliti secara umum. Bidang keilmuan juga tidak akan berkembang jika pelakunya tidak memiliki integritas untuk menjaga kejujuran.

Sebenarnya, Kode Etik Peneliti telah diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dalam Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia nomor 06/e/2013, dinyatakan bahwa peneliti dalam melakukan kegiatannya berpegang pada nilai-nilai integritas, kejujuran, dan keadilan.

Untuk kebutuhan tersebut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku pembina peneliti menetapkan acuan etika bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemanusiaan.

Dalam kode etik tersebut dinyatakan bahwa sesuai dengan asas-asas dan nilai-nilai keilmuan, seorang peneliti memiliki empat tanggung jawab. Terhadap proses penelitian, ia harus memenuhi baku ilmiah. Terhadap hasil penelitiannya, ia sebaiknya memajukan ilmu pengetahuan sebagai landasan kesejahteraan manusia.

Kepada masyarakat ilmiah yang memberi pengakuan di bidang keilmuan peneliti tersebut, ia adalah bagian dari peningkatan peradaban manusia, serta peneliti harus bertanggung jawab terhadap kehormatan lembaga yang mendukung pelaksanaan penelitiannya.

Kode Etik Peneliti adalah acuan moral bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemanusiaan. Berdasar kode etik peneliti, kebohongan publik pun diatur, termasuk di dalamnya adalah pemalsuan hasil penelitian (fabrication), berupa mengarang, mencatat dan/atau mengumumkan hasil penelitian tanpa pembuktian telah melakukan proses penelitian.

Sementara itu, penegakan sanksi bagi peneliti yang terkena dugaan perilaku peneliti tidak jujur dan perkara moralitas, dan pelanggaran lainnya, penyelidikan dilakukan oleh Majelis Pertimbangan Etika Peneliti (MPEP).

MPEP berfungsi sebagai badan independen yang memproses laporan tertulis dari Lembaga Penelitian Non-Kementerian/Lembaga Penelitian Kementerian (LPNK/LPK) atau dari mana pun, terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Peneliti. MPEP memegang otoritas tertinggi untuk menegakkan Kode Etik Peneliti di Indonesia.

Sanksi terhadap penyimpangan penelitian pun beragam. Berdasarkan kasus penyelewengan yang pernah terjadi, sanksi bisa diberikan, mulai dari mencabut gelar pendidikan (doktor, master, atau profesor), sampai dengan pemberhentian jabatan.

Baca juga: Kasus Penipuan Terbesar Sepanjang Sejarah

Related

Science 5880867600071539534

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item