YOLO, Gaya Hidup Milenial yang Memprihatinkan

 YOLO, Gaya Hidup Milenial yang Memprihatinkan

Naviri.Org - YOLO adalah singkatan You Only Live Once, yang kini menjadi slogan generasi milenial. Slogan itu sebenarnya baik, tapi tampaknya banyak yang salah mengartikan. Karena berpikir “mumpung masih hidup sekarang”, banyak anak muda generasi milenial yang memanfaatkannya untuk bersenang-senang, termasuk pelesir atau traveling, tanpa sempat memikirkan masa depan.

Kenyataan ini sudah terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Bulan ini dapat gajian, lalu menggunakan uang gajian untuk traveling atau bersenang-senang dalam bentuk lain, karena berpikir, “mumpung sekarang masih punya kesempatan”. Akibatnya, banyak dari mereka yang terus menerus kehabisan uang, bahkan terjerat utang, dan tidak ingat untuk menabung sebagai bekal hari tua.

Menurut Jason Vitug, dalam buku You Only Live Once: The Roadmap to Financial Wellness and a Purposeful Life (2016), slogan YOLO menjadi ekspresi akan ketidakpastian hari esok. Slogan ini mengajarkan untuk meraih kesempatan dan hidup dengan bebas.

Akronim YOLO populer setelah Drake, penyanyi rap asal Kanada, merilis single hip hop bertajuk “The Motto” tahun 2011. Kajian Alex Leavitt berjudul "From #FollowFriday to YOLO: Exploring the Cultural Salience of Twitter" dalam buku Twitter and Society (2014) menjelaskan, YOLO merupakan moto kebudayaan anak muda Amerika mulai akhir tahun 2011 dan awal 2012.

YOLO menjadi penjelasan perilaku tidak bertanggung jawab anak muda Amerika, yang ditampilkan lewat unggahan Twitter. Penggunaan moto YOLO seterusnya tidak hanya berhenti di media sosial Twitter, tapi juga populer dipakai di unggahan media sosial lain, yakni Facebook. YOLO bahkan digunakan di luar dunia virtual. Ia bisa ditemukan di tengah percakapan antar-remaja di sekolah.

Menurut Leavitt, YOLO menjadi semacam carpe diem generasi anak muda saat ini. Roman Krznaric dalam Carpe Diem Regained: The Vanishing Art of Seizing the Day (2017), mengatakan kalau tagar #YOLO menjadi perwujudan moto carpe diem di media sosial.

Carpe diem, yang berarti “petiklah hari ini”, diciptakan oleh penyair Romawi bernama Quintus Horatius Flaccus, atau yang biasa dikenal dengan Horace. Ia menciptakan aforisme ini 2.000 tahun lalu, tapi carpe diem hidup dalam budaya populer hingga sekarang.

Salah satu yang paling mengesankan adalah gambaran carpe diem dalam film Dead Poets Society (1989). Film itu mengisahkan tentang kehidupan remaja di sekolah elite Welton Academy, yang berubah drastis saat ada guru Bahasa Inggris baru bernama John Keating. 

Keating, diperankan oleh Robin Williams, adalah sosok guru nyentrik dan memakai pendekatan yang berbeda dari guru-guru lain. Mulai dari naik ke atas meja, hingga berani menyobek halaman buku pelajaran. Pada murid-muridnya, Keating mengajarkan tentang carpe diem. Petiklah hari ini.

"Kenapa carpe diem? Karena kita adalah makanan untuk para cacing. Karena, percaya atau tidak, setiap dari kita di ruangan ini, suatu hari nanti akan berhenti bernapas, tubuh jadi dingin, dan kita mati... carpe diem. Buatlah harimu luar biasa," kata Keating.

Pesan carpe diem yang saat ini muncul dalam slogan YOLO membawa pengaruh pada siapa pun yang mengamininya, tidak terkecuali generasi milenial. Yang perlu diperhatikan, pola pikir YOLO berdampak pada generasi milenial Indonesia dari sisi ekonomi dan psikologis.

Kecenderungan yang muncul adalah generasi milenial menjadi konsumtif dan mengutamakan pengeluaran untuk kegiatan yang sifatnya pengalaman. Contohnya travelling, experienced buying, dan lain-lain.

Experienced buying merupakan kegiatan membeli pengalaman yang menurut Thomas Gilovich, seorang profesor Psikologi dari Cornell University, fenomena itu mulai marak terjadi sejak tahun 2000-an awal. Melancong, menonton konser, dan melihat film di bioskop adalah contoh membeli pengalaman.

Fenomena ini tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga negara lain seperti Cina, Amerika Serikat, dan Inggris. Penelitian yang dilakukan Airbnb, perusahaan jaringan pasar daring dan penginapan rumahan asal Amerika Serikat (2016), menyebutkan melancong menjadi hal penting bagi para milenial, khususnya di Cina.

Dari 1.000 responden berumur 18 sampai 35 tahun, sebanyak 47 persen orang asal Inggris memprioritaskan melancong dibandingkan membeli rumah atau mobil, juga membayar utang. Di Amerika Serikat, 55 persen responden lebih memilih menggunakan uangnya untuk pelesir. Cina menduduki peringkat paling tinggi, yakni sebanyak 71 persen orang yang mengakui aktivitas pelesir sebagai inti identitasnya.

Meski begitu, tingginya keinginan generasi milenial untuk melakukan aktivitas leisure dan melancong tidak berbanding lurus dengan kondisi kesehatan keuangan. Penelitian berjudul Employee Financial Wellness Survey tahun 2017 yang diterbitkan PwC, lembaga akuntansi di London, memaparkan sejumlah persoalan keuangan 1.600 pekerja penuh Amerika, termasuk di dalamnya generasi milenial.

Kekhawatiran seperti tidak punya tabungan untuk membayar keperluan tidak terduga, tidak bisa pensiun sesuai waktu yang diinginkan, tidak bisa memenuhi biaya hidup per bulan, diberhentikan dari pekerjaan, tidak bisa membayar utang, kehilangan rumah, dan tidak bisa membayar biaya kuliah, membayangi pekerja milenial.

Manajemen utang dan kas para pekerja tersebut juga menunjukkan problem. Sebanyak 41 persen responden milenial mengatakan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup per bulan. Hal ini membuat penggunaan kartu kredit dipilih sebagai jalan keluar. Data PwC menunjukkan 45 persen responden milenial menggunakan kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, 70 persen pekerja secara konsisten mempunyai saldo alias utang kartu kredit. Dari pengguna kartu kredit itu, 39 persen responden kesusahan untuk membayar batas minimum pembayaran tiap bulan. Stres akibat masalah keuangan pada akhirnya menempati posisi tertinggi dibandingkan masalah lain yang juga jadi penyebab stres kaum milenial, seperti kesehatan, pekerjaan, dan hubungan.

Jika hal ini tidak segera dibenahi, maka artinya selama bertahun-tahun generasi milenial terbiasa hidup di atas batas kemampuannya. Jika demikian, maka berpotensi akan bangkrut di usia 40 tahun.

Apabila generasi milenial hanya memikirkan hidup seakan hanya untuk hari ini, maka persoalan akan muncul ketika masa pensiun. Apalagi jika pekerjaan tetap sudah tidak dimiliki saat masih berusia 40-an tahun, maka akan sangat menyulitkan generasi milenial untuk bertahan hidup dengan baik.

Pola pikir YOLO akan berdampak pada skala prioritas. Generasi milenial ingin langsung menikmati penghasilan yang diperoleh tanpa memikirkan pengeluaran di masa depan. Padahal, penghasilan tersebut belum tentu didapatkan lagi. Karenanya, generasi milenial perlu punya rencana keuangan yang tertulis, supaya bisa melakukan pengecekan atas apa yang direncanakan dan apa yang dijalankan.

Baca juga: Streetwear, Pakaian Kasual yang Jadi Barang Mewah

Related

Lifestyle 5477202355857050659

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item