Keharmonisan Keluarga, Kunci Bahagia Orang Indonesia

Keharmonisan Keluarga, Kunci Bahagia Orang Indonesia

Naviri.Org - Hal-hal yang mempengaruhi kebahagiaan orang di masing-masing negara bisa berbeda, karena kultur dan cara hidup yang memang tak sama. Di negara-negara yang sangat kompetitif, faktor paling menentukan untuk bahagia bisa jadi pekerjaan yang mapan dan penghasilan yang cukup, karena biaya hidup sangat tinggi. Namun, hal itu belum tentu sama dengan mayorias masyarakat di Indonesia.

Secara internal, Indonesia juga telah melakukan perhitungan soal kebahagiaan dengan memperhatikan tiga indikator: dimensi perasaan (seperti tidak tertekan atau gelisah), kepuasan hidup personal atau individu, dan dimensi makna hidup (pengembangan diri dan hubungan dengan orang lain). Hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK), Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017 mencapai 70,69 pada skala 0-100.

Menurut laporan ini, dimensi keharmonisan keluarga (indikator kepuasan hidup sosial) memiliki nilai yang paling tinggi sebesar 80,05. Sementara itu, dimensi pendidikan dan keterampilan dengan skor 59,9 mendapatkan skor terendah. Maluku Utara menjadi provinsi dengan skor indeks kebahagiaan tertinggi (81,33), yaitu kepuasan terhadap aspek kehidupan sosial seperti keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, dan hubungan sosial.

“Dilihat dari ketiga dimensi penyusun Indeks Kebahagiaan, penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan secara konsisten memiliki indeks yang lebih besar dibanding di wilayah pedesaan,” jelas Kepala BPS K. Suhariyanto dalam keterangan resmi yang dilansir situs resmi Sekretaris Kabinet Republik Indonesia. Walaupun nilai indeksnya tidak jauh, 71,64 dibanding 69,57 peningkatan kualitas hidup untuk warga desa tetap harus dilakukan.

Salah satu solusi untuk menciptakan pembangunan inklusif yang merangkul daerah pedesaan, adalah dengan menciptakan keterbukaan pemerintah di daerah. 

Riset soal kebahagiaan yang telah melihat berbagai variabel yang dapat mengevaluasi berbagai aspek hidup individu dan masyarakat, memang patut untuk diapresiasi. Akan tetapi, kebahagiaan jika berlebihan juga patut dipersoalkan.

Matthew Hutson, mantan editor Psychology Today, dalam tulisannya, Beyond Happiness: The Upside of Feeling Down, menjelaskan bahwa emosi negatif tidak selalu memberikan dampak negatif terhadap individu.

Misalnya dalam kasus emosi "negatif" seperti kemarahan, ini tidak serta merta memberikan dampak yang buruk. Sebaliknya, kemarahan adalah perasaan yang muncul dari diri manusia untuk menolak berada dalam situasi eksploitatif. Selain itu, kemarahan juga memotivasi manusia untuk mengambil sebuah tindakan.

Emosi lain seperti rasa takut dan kegelisahan, tidak selamanya perasaan ini negatif. Perasaan ini akan membantu Anda untuk menjadi waspada dan tidak mengambil keputusan berisiko yang tidak berdasarkan kalkulasi untung-rugi yang kritis.

Misalnya, jika Anda ingin melakukan investasi, ketakutan akan membuat Anda kritis; apakah investasi itu menipu atau memang peluang menguntungkan?

Untuk itu, kebahagiaan dan rasa sakit adalah dua rasa yang tak bisa dipisahkan. Seperti pemikiran dari seorang filsuf Inggris, Jeremy Bentham, “Alam telah menempatkan manusia di bawah pemerintahan yang terdiri dari dua penguasa yang berdaulat, yaitu rasa sakit dan kegembiraan.”

Baca juga: Anak Muda dan Orang Tua, Mana Lebih Bahagia?

Related

Insight 572075243506939468

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item