Fakta Kemiskinan di Inggris dan Ironi Negara Kaya

Fakta Kemiskinan di Inggris dan Ironi Negara Kaya

Naviri.Org - Inggris dikenal sebagai negara besar, dan dianggap sebagai salah satu negara kaya di dunia. Namun, ternyata, negara itu tidak terbebas dari kemiskinan. Fakta ini, dan bagaimana pemerintah Inggris berupaa menutupinya, adalah ironi yang sungguh getir dari sebuah negara kaya.

Memang, kemiskinan atau orang-orang miskin bisa ada di mana saja, termasuk di negara kaya semisal Inggris. Namun, populasi orang miskin mestinya sesuai dengan tingkat kekayaan suatu negara. Artinya, jika sebuah negara memang miskin, populasi orang miskin yang banyak tentu bisa dimaklumi. Namun, jika populasi orang miskin yang banyak ada di negara kaya, maka itulah ironi. Bagaimana bisa sebuah negara kaya sampai memiliki populasi orang miskin dalam jumlah luar biasa?

Joseph Rowntree Foundation (JRF), lembaga yang fokus pada masalah kemiskinan di Inggris dan sudah berdiri lebih dari 100 tahun, mengeluarkan laporan bertajuk “UK Poverty 2017.” Laporan itu mengungkapkan adanya peningkatan angka kemiskinan di Inggris.

Catatan JRF, ada sekitar 22 persen dari populasi penduduk Inggris hidup dalam kemiskinan pada periode 2015-2016. Persentase itu menunjukkan peningkatan sebesar dua persen dibandingkan 2004. Dalam catatan mereka, pemerintah Inggris memang berhasil menekan angka kemiskinan dari 24 persen pada tahun 1994-1995 menjadi 20 persen di 2004.

Laporan JRF, mengkategorikan kemiskinan untuk keluarga tak punya anak, bila setelah biaya perumahan, penghasilan di bawah £248 per minggu atau £12.900 per tahun sekitar Rp230 juta, masuk kategori miskin. Sedangkan bagi individu/single yang dikategorikan miskin bila setelah pengeluaran perumahan, penghasilan mereka di bawah £144 per minggu atau sekitar Rp2,6 juta.

Lembaga yang fokus pada isu kemiskinan di Inggris itu melaporkan antara 1994 hingga 2005, anak-anak di Inggris yang hidup dalam kemiskinan mencapai 28 persen dari populasi anak-anak di sana. Meski dapat ditekan pada angka 27 persen di 2011 hingga 2012, persentase kemiskinan pada anak-anak kembali meningkat bahkan menyentuh angka 30 persen pada 2015-2016.

Bagi kelompok usia kerja, meski memiliki pekerjaan, satu dari delapan pekerja, atau sekitar 3,7 juta penduduk Inggris, memiliki pendapatan yang rendah sehingga tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hampir sebagian dari penduduk dewasa usia kerja masih hidup dalam kemiskinan karena tidak memiliki kualifikasi. Oleh karena itu mereka sulit memperoleh gaji yang lebih baik.

Sedangkan dari kelompok pensiun, jumlah kemiskinan tercatat mencapai 16 persen atau meningkat 3 persen dari tahun 2012 hingga 2013. Padahal, sejak 1996 hingga 2013, pemerintah telah berhasil menekan angka kemiskinan dari 29 persen menjadi 13 persen atau lebih dari setengah pensiunan dapat ditarik keluar dari kemiskinan.

Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan soal penyebab kembali meningkatnya angka kemiskinan di negari Ratu Elizabeth itu. Padahal selama 20 tahun terakhir, Pemerintah Inggris dikabarkan terus berusaha memerangi kemiskinan yang merongrong kehidupan masyarakatnya.

Tingkat penurunan angka kemiskinan periode 2000-an tentu tak lepas dari kebijakan Perdana Menteri Tony Blair yang berasal dari Partai Buruh. Memimpin Inggris sejak 1997 hingga 2007, ia punya target mengurangi kemiskinan dengan mengeluarkan 1,2 juta warga Inggris dari daftar orang miskin pada 2004.

Kebijakan Tony Blair yang fokus pada mengurangi tingkat pengangguran, ditempuh dengan membuka lapangan pekerjaan. Sedangkan anak-anak yang berada dalam garis kemiskinan diberi pendidikan yang memadai, agar memiliki keterampilan atau pengetahuan yang akan menjadi bekal saat memasuki usia kerja.

Pemerintah juga fokus dalam menangani persoalan perumahan yang tidak memadai, yang menyebabkan tingginya warga Inggris yang tak memiliki rumah. Fokus itu menjadi pondasi bagi target Blair dalam mengurangi kemiskinan, sebab dengan memiliki rumah, warga tak perlu mengeluarkan uang untuk membayar sewa.

Dalam laporan Tom Sefton dari London School of Economics, yang dikutip The Guardian, mengungkapkan bahwa pemerintah juga menyediakan “upah sosial” rata-rata sebesar £4.000 setiap tahun bagi setiap rumah tangga, untuk layanan kesejahteraan seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan bersubsidi.

“Tujuan historis kita, bahwa kita adalah generasi pertama yang mengakhiri kemiskinan anak selamanya... Ini adalah misi 20 tahun, tapi saya yakin itu bisa dilakukan,” ujar Blair pada 1999 silam.

Inti dari kebijakan Blair adalah, berikan pekerjaan kepada mereka yang mampu bekerja. Berikan dukungan (upah sosial) bagi mereka yang tak mampu.

Namun target Blair meleset. Hingga 2004 diperkirakan hanya sekitar 750 ribu orang yang dapat dikeluarkan dari kemiskinan, masih jauh dari target 1,2 juta orang. Mengeluarkan 750 jiwa dari garis kemiskinan tentu bukan akhir dari perjuangan Inggris untuk melawan kemiskinan, sebab masih ada jutaan orang lainnya yang terperangkap dalam situasi sulit. Sayangnya, hampir 20 tahun berlalu, semangat Blair yang pernah dikumandangkan itu sepertinya memudar.

Kini, kemiskinan di Inggris malah kian meningkat. Ada beberapa alasan mengapa kemiskinan masih menjadi ancaman di negara tersebut. Salah satunya adalah minimnya dukungan negara bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Perhatian pemerintah dalam bentuk kebijakan bagi warga berpenghasilan rendah tentu sangatlah penting. Dikutip dari Parliament.uk, angka pengangguran dari kelompok pemuda berusia 16-24 tahun (usia produktif) mencapai 571.000 untuk periode Juli hingga September 2017.

Persoalannya dapat dilihat dari dua sisi. Lapangan kerja yang minim atau pemuda yang minim kualifikasi. Oleh sebab itu, perhatian pemerintah sangat penting guna menyediakan lapangan pekerjaan bagi wilayah yang minim lapangan kerja, sekaligus memberi keterampilan bagi pemuda agar mampu bersaing dalam dunia kerja.

Namun, kenyataannya, banyak pekerja di Inggris yang meski sudah memiliki pekerjaan, tapi tak mampu mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan. Masalahnya ada pada keterampilan. Warga yang berpenghasilan rendah tak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kondisi keuangan, karena tak memiliki kualifikasi lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengais rezeki di tempat lain.

"Ini jadi bukti bahwa memiliki sebuah pekerjaan hari ini di pasar tenaga kerja yang sulit, tidak cukup untuk keluar dari kemiskinan," kata Rachael Orr, Kepala Oxfam untuk Inggris, dalam keterangan resminya menanggapi laporan JRF.

Pendapatan yang rendah bagi mereka yang hingga saat ini masih hidup dengan menyewa rumah, tentu akan semakin menyulitkan, karena biaya sewa yang kian tinggi di Inggris. Hal ini menjadi pukulan bagi Inggris sebagai negara berpendapatan tinggi. Situasi politik Inggris pasca-Brexit, termasuk gonjang-ganjing dalam kabinet Theresa May, tentu mempengaruhi kebijakan dan fokus pemerintah terhadap persoalan penanggulangan kemiskinan.

Masalah internal kabinet May, seperti Alan Milburn, akhirnya mengundurkan diri karena melihat tak adanya kemajuan menuju “Inggris yang lebih adil.” Hal ini semakin memperburuk situasi pemerintahan May yang berasal dari partai konservatif, dan menjadi sasaran empuk lawan politiknya.

Pemimpin Liberal Demokrat, Sir Vince Cable, termasuk yang menanggapi laporan peningkatan kemiskinan di Inggris, sebagai "membunyikan lonceng kematian untuk Theresa May yang mengklaim telah membangun negara yang menjangkau semua lini."

Laporan JRF memang bagai bumi dengan langit bila dibandingkan dengan laporan resmi pemerintah Inggris. Dikutip dari Office for National Statistics atau semacam BPS-nya Inggris, kemiskinan di Inggris pada 2015 hanya 7,3 persen dari populasi, atau hanya sepertiga dari jumlah yang dilaporkan oleh JRF. Namun, bagaimana pun Inggris sebagai negara kaya belum bebas dari "lingkaran setan" kemiskinan.


Related

World's Fact 3886772391789344405

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item