Mengenang Chairil Anwar, “Si Binatang Jalang”

Mengenang Chairil Anwar, “Si Binatang Jalang”

Naviri.Org - Chairil Anwar adalah salah satu penyair legendaris Indonesia, yang namanya terus dikenang dan disebut-sebut dari generasi ke generasi. Dalam usianya yang singkat karena mati dalam usia yang relatif muda, Chairil Anwar telah menorehkan karya yang menjadi jejak eksistensinya, khususnya di dunia kepenyairan Indonesia.

Chairil lahir sebagai orang Minang. Ia anak tunggal pasangan Toeloes dan Saleha. Sang ayah berasal dari Nagari Taeh, Kabupaten Limapuluh Kota, sedangkan ibunya berasal dari Kota Gadang. Dari pihak ibu, Chairil ada pertalian keluarga dengan Mohamad Rasad, ayah Sutan Sjahrir, dan wartawan perempuan Rohana Koedoes. Beberapa sumber menyebut Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922.

Toeloes adalah pegawai negeri yang bekerja pada pemerintah kolonial, sehingga hidup mereka cukup mapan. Oleh sebab itu, Chairil bisa bersekolah di SD dan SMP elite untuk pribumi di: HIS dan MULO. Di dua sekolah itu, bahasa asing negara Eropa selain Belanda juga diajarkan.

Meski MULO yang hanya setara SMP sebetulnya kalah mentereng dari Hogare Burgerlijk School (HBS)—sekolah yang setara SMP sampai SMA—Chairil saat itu melahap semua buku untuk siswa HBS tingkat atas. Remaja kurus ini juga membaca dengan rakus tulisan-tulisan Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, dan banyak lainnya.

“Semua buku mereka aku sudah baca,” kata Chairil, seperti dikutip Pamusuk Eneste dalam Mengenal Chairil Anwar (1995). Sejak usia lima belas tahun, kira-kira ketika dia kelas pertama di MULO, dia sudah memutuskan akan menjadi seniman. Karenanya, dia tak merasa harus sekolah tinggi. Modal bacaan lebih penting baginya.

Ketika Chairil berumur 19 tahun, Toeloes dan Saleha bercerai. Chairil tak mau tinggal dengan Toeloes yang hidupnya teratur. Dengan Saleha, Chairil yang dianggap anak manja itu bisa merasa bebas merdeka. Meski belakangan kawin lagi, Toeloes tak lupa mengirimi Chairil dan Saleha uang, termasuk saat mereka hijrah ke Jakarta.

Waktu Jepang menduduki Hindia, emak dan anak itu pernah ditampung di rumah Sjahrir yang belum lama kembali dari Banda Neira. Sjahrir dan anak-anak angkatnya tinggal di Jalan Maluku, Menteng. Anak-anak angkat Sjahrir adalah cucu Said Badilla, saudagar mutiara berdarah Arab dari Banda Neira. Chairil akrab dengan salah satu anak angkat Sjahrir, Des Alwi.

Di Jakarta, selain sempat menjadi penyiar, Chairil juga pernah bekerja pada Hatta. Tapi setelah beberapa lama Des tak melihat Chairil berangkat ke kantor, ia kemudian menanyakan perkara itu pada yang bersangkutan.

“Mana bisa tahan kerja dengan Hatta, masuk jam delapan pagi pulang jam dua siang,” Chairil menjawab.

Chairil memang tak bisa bekerja kantoran. Ia senang kelayapan, dan paling sering ke lingkungan seniman di Senen serta mengunjungi beberapa kawannya pegawai Balai Pustaka, yang kantornya juga tak jauh dari situ. Chairil juga hidup nomaden, berpindah-pindah tempat tinggal dari kawan satu ke kawan lainnya. Tak hanya menumpang tidur, ia juga numpang makan.

Di Balai Pustaka, salah satu kawan Chairil adalah H.B. Jassin. Pria yang kelak dijuluki Paus Sastra, karena karya-karya kritiknya ini bekerja di Balai Pustaka sejak 1940. Jassin kerap disambangi Chairil dan temannya, Bachrum Rangkuti, karena punya koleksi banyak buku.

“Dia punya sifat yang kadang-kadang membuat menggelegak. Misalnya dia biasa datang ke rumah meminjam buku, meminjam mesin tulis, tapi ada kalanya dia meminjam tanpa tanya, terus dibawa saja,” kata Jassin.

Tak hanya Jassin, penyair Subagio Sastrowardoyo pun mengalami hal serupa. Buku-buku miliknya kerap diambil Chairil, dan tak jarang diloakkan di Pasar Senen. Untungnya, buku-buku itu selalu berhasil Subagio temukan kembali.

“Chairil Anwar punya prinsip bukumu bukuku, rumahmu rumahku,” kata Subagio.

Meski menjengkelkan, persoalan ambil-tanpa-permisi buku ini tak pernah jadi soal serius antara Chairil dengan teman-temannya. Persoalan lainlah yang membuat Jassin, pada suatu hari, menjotos Chairil. Insiden itu bermula dari esei Jassin, “Karya Asli, Saduran dan Plagiat” pada majalah Mimbar Indonesia yang salah satunya membandingkan puisi Chairil “Kerawang-Bekasi” dengan karya penyair Amerika Serikat, Archibald MacLeish berjudul “The Dead Young Soldiers”.

Dalam esei itu, Jassin masih bernada membela Chairil, tapi nama yang disebut terakhir ini rupanya tak terima. Saat Jassin hendak bersiap untuk pementasan, di belakang panggung, Chairil menghampiri sambil meracau soal esai itu. Jassin yang sedang berupaya mengumpulkan konsentrasi jadi kesal. Maka, dipukullah Chairil.

Chairil tak membalas, tapi rupanya ia sakit hati. Sejak kejadian itu, Chairil kerap terlihat berolahraga melatih fisiknya. Pada teman-temannya, ia sesumbar akan membalas Jassin. Tapi kenyataannya pembalasan itu tak pernah terjadi. Mereka tetap berteman, sampai kelak sepeninggal Chairil, Jassin-lah salah satu yang paling getol mengarsipkan karya-karya Chairil.

Tak hanya mengembat buku teman-temannya, Chairil juga pernah mencuri di toko buku Van Dorp dan Kolff di Jalan Juanda, Jakarta. “Saya dan Chairil suka juga mencuri buku di situ,” kata Asrul Sani, dalam kata pembuka Derai-derai Cemara: Mengenang 50 Tahun Wafatnya Chairil Anwar (1989).

Waktu itu, Chairil tertarik dengan buku Also Sprach Zarathustra, karya filsuf Fredrich Nietzsche. “Kau perhatikan orang itu. Aku mau mengantongi Nietzsche,” perintah Chairil pada Asrul. Chairil memakai celana komprang berkantong besar yang memungkinkan dia menyembunyikan bukunya

Buku filsafat karya Nietzsche yang mereka incar itu diletakkan di rak bersama buku-buku agama. Saat Asrul mengawasi penjaga toko, Chairil beraksi mengantongi buku itu. Setelah sukses, mereka keluar dari toko dengan lagak tenang dan santai. Setelah tiba di tempat aman, mereka keluarkan hasil jarahan mereka dari kantong celana Chairil.

“Kok ini? Wah, salah ambil aku!” seru Chairil. Ternyata, bukan Zarathustra yang terambil, melainkan Injil. Bukannya menggondol kumpulan aforisma yang salah satunya berisi kalimat terkenal “Tuhan telah mati!”, Chairil sang pemuda bohemian malah meraup kitab berisi ribuan kata-kata Tuhan.

Baca juga: Kisah Hidup dan Kematian Penyair Chairil Anwar

Related

Insight 7542145760749908871

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item