Suka Belanja, Suka Liburan, tapi Terlilit Utang

Suka Belanja, Suka Liburan, tapi Terlilit Utang

Naviri.Org - Banyak orang suka belanja, juga suka liburan. Tentu sah-sah saja orang punya kesukaan semacam itu, asal memang memiliki kemampuan dan waktu untuk melakukannya. Yang menjadi masalah adalah ketika kesenangan itu tidak berbanding dengan kemampuan yang dimiliki.

Era sekarang, ketika media sosial seperti menuntut semua orang agar tampil bergaya atau bahkan tampak kaya, aksi belanja barang mahal dan liburan ke luar negeri adalah dua hal yang dilakukan banyak orang. Sebagian kalangan, khususnya kalangan atas, memang mampu melakukan hal itu karena memang memiliki kemampuan. Sayangnya, sebagian orang meniru mereka mentah-mentah, tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kemampuannya sendiri. Ketika hal semacam itu terjadi, tumpukan utang pun menanti.

Pada 2015, Middle Class Institute (MCI), SWA, dan Inventure, menyelenggarakan Middle Class Consumer Survey. Dari survei tersebut diketahui bahwa ada keunikan perilaku kelas menengah Indonesia terkait waktu luang dan persepsi liburan.

Menggunakan metodologi Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan jumlah responden 2.277 orang, sebanyak 77 persen peserta mengatakan pergi belanja ke mal adalah bentuk liburan, dan belanja adalah salah satu kegiatan bersenang-senang yang paling disukai.

Apa indikator lain yang bisa menunjukkan konsumerisme dan kegemaran berutang di kalangan kelas menengah? Dari data transaksi belanja menggunakan kartu, sejak 2009 hingga 2015, nilai transaksi belanja menggunakan kartu kredit selalu lebih tinggi dibandingkan penggunaan kartu debit.

Hal ini bisa menjadi pendukung bahwa masyarakat Indonesia gemar berutang untuk menunjang gaya hidupnya. Pada 2009, angka belanja dari kartu debit mencapai 56,17 triliun rupiah, sementara belanja menggunakan kartu kredit sebesar 132,65 triliun rupiah.

McKinsey Global Institute pada 2014 menyebut bahwa setiap tahun Indonesia menghasilkan lima juta kelompok masyarakat konsumtif urban. Saat ini, ada 70 juta kelas menengah urban yang konsumtif. Dari angka itu, hanya 10 persen dari populasi kelas menengah tadi yang melek teknologi digital belanja secara online. Diperkirakan, dengan peningkatan belanja sebesar 7,7 persen setiap tahun, pada 2030 belanja yang dihasilkan kelas menengah di Indonesia akan mencapai satu triliun dolar.

McKinsey juga menyebutkan bahwa fenomena konsumerisme ini tidak hanya menjangkiti kelas menengah yang ada di kota besar. Dalam riset tersebut ada pola yang menunjukkan kota-kota satelit di sekitar kota besar seperti Gresik di Jawa Timur yang dekat dengan Surabaya juga mengalami kenaikan konsumerisme. Pemahaman akan merek, gaya hidup urban, dan juga keterpaparan internet membentuk selera di masyarakat suburban.

Fenomena semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Gayatri Jayaraman menggambarkan fenomen serupa di India. Kaum miskin urban banyak yang lapar dan bokek, karena lebih memilih tekanan sosial daripada hidup wajar. Mereka yang menghabiskan hampir seluruh gajinya demi gaya hidup dan penampilan, yang mereka yakini berpengaruh pada pekerjaan mereka.

Beban gaya hidup ini tidak bisa dicoret dari daftar pengeluaran mereka: baju-baju dan perawatan tubuh, kongkow dan makan malam di tempat mewah, juga biaya transport naik Uber.

Baca juga: Kebanyakan Utang Gara-gara Kebanyakan Gaya

Related

Lifestyle 5622194118526654525

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item