Kongo, di Antara Kekayaan dan Kekacauan Mengerikan

Kongo, di Antara Kekayaan dan Kekacauan Mengerikan

Naviri.Org - Salah satu mineral yang menjadi kekayaan alam di Kongo adalah kobalt. Kobalt adalah mineral yang dipakai untuk produk baterai berteknologi tinggi. Mineral ini tersemat dalam baterai ponsel keluaran iPhone hingga mobil listrik Tesla. Dalam dua tahun terakhir, harganya sudah mencapai 81.500 dolar per ton.

Sayangnya, meski mendapat predikat pemasok dua pertiga kobalt untuk pasar global, para penambang Kongo menjual biji kobalt berkualitas tinggi hanya sekitar 7.000 dollar per ton. Hasilnya, mereka terus miskin, meski terus bekerja keras menambang mineral berharga.

Situasi itu diperparah dengan adanya kecaman karena banyak anak-anak Kongo yang harus ikut bekerja menjadi penambang. Kemudian, keberadaan milisi dan aparat di sana juga menambah derita para pekerja tambang di Kongo, karena para milisi dan aparat itu kerap meminta uang. Jika permintaan para milisi tidak diberikan, ancaman yang terjadi bisa mengerikan.

Rilis terbaru badan pengungsi PBB (UNHCR) memperingatkan bahwa Kongo menghadapi bencana kemanusiaan. Kekerasan antarsuku, bentrokan antara milisi bersenjata dengan tentara pemerintah, kemunculan kelompok-kelompok bersenjata baru, telah memicu perpindahan massal penduduk Kongo ke negara tetangga.

Di provinsi Tanganyika yang berpenghuni sekitar tiga juta orang, pertikaian etnis terjadi antara kelompok Twa, Luba, dan berbagai kelompok lainnya. Sekitar 630.000 penduduk terpaksa mengungsi ke dekat Kalemie, ibukota provinsi. Mereka menghindari serangan, pembunuhan, penculikan dan pemerkosaan yang marak di pedesaan.

Sudah ada lebih dari 800 kasus pelanggaran HAM sampai dua minggu pertama bulan Februari 2018. Sementara sepanjang tahun 2017 tercatat ada 12.000 kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan.

Joseph Kabila, presiden Kongo yang menjabat sejak 2001 silam, kini sibuk membangun dan mengonsolidasikan kediktatorannya. Masa jabatan yang sebenarnya sudah berakhir sejak Desember 2016 lalu, diperpanjang secara sepihak oleh Kabila.

Tindakan tersebut memicu serangkaian aksi demonstrasi terorganisir menentang Kabila. Dilansir dari Reuters, aparat keamanan Kongo membungkam aksi protes dengan membunuh para demonstran.

Kekacauan di Kongo juga merupakan warisan diktator militer yang pernah memimpin Kongo selama 32 tahun lamanya (1965-1997). Setelah mengkudeta pemimpin nasionalis sayap kiri, Patrice Lumumba, Mobutu memerintah Kongo secara otoriter. Selama puluhan tahun, ia sukses menghabisi kelompok-kelompok pemberontak dan membungkam oposisi.

Rezim Mobutu gagal total membangun kondisi ideal untuk pertumbuhan ekonomi Kongo. Ia justru sibuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Meski telah tumbang 21 tahun silam, rezim Mobutu mewariskan korupsi, salah kelola ekonomi, dan mundurnya infrastruktur negara yang menyebabkan Kongo terus terperosok dalam pusaran konflik.

Kongo diguncang perang sipil semenjak tahun-tahun teraknir kekuasaan Mobutu. Perang Kongo Pertama (1996-1997) mengusung agenda pelengseran Mobutu. Disusul serentetan Perang Kongo Kedua (1998-2003) yang melahirkan konflik Ituri (1999-2007), konflik Kivu (2004-2013), menurunkan pemberontakan M23 (2012-2013), dan terakhir konflik Dongo (2009).

Dalam “Natural Resources Conflict in the Democratic Republic of the Congo: A Question of Governance?” (2011), Clementine Burnley menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam tetap dipengaruhi oleh aktor-aktor di panggung politik Kongo, termasuk penguasa.

Pemangku kepentingan yang hadir malah bersikap menghasut, dan mencari keuntungan dari masalah-masalah tata kelola sumber daya alam di Kongo.

Baca juga: Burundi, Negara yang Berubah Jadi Neraka

Related

World's Fact 2444149566947165828

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item