Kisah Tragis di Balik Penemuan Mayat-mayat di Kapal Batavia

 Kisah Tragis di Balik Penemuan Mayat-mayat di Kapal Batavia

Naviri Magazine - Pada tahun 1600-an, kapal-kapal dari Belanda banyak berdatangan ke Nusantara, yang waktu itu bernama Hindia Belanda. Kapal-kapal itu mengangkut penumpang, yang kebanyakan bertujuan mendapatkan pekerjaan atau penghidupan.

Sebagian mereka adalah orang-orang yang ingin mendapatkan hidup lebih baik dengan harapan bisa bekerja di Batavia (sekarang Jakarta). Karenanya, kapal-kapal yang mengangkut mereka pun terkenal dengan sebutan kapal Batavia.

Terkait hal itu, banyak cerita mengejutkan di balik bangkai kapal Batavia yang karam di pulau Beacon, lepas pantai Australia Barat. Setidaknya ada lima mayat penumpang Batavia yang ditemukan di tempat itu.

Mayat-mayat ditemukan berjajar dengan kondisi terikat,dan anehnya tidak ada bekas tanda kekerasaan di tubuh mereka. Bisa jadi, korban meninggal karena dehidrasi setelah karam, dan sekaligus mencegah upaya "liar" bagi korban yang selamat untuk bertahan. Mereka saling mengikat. 

Lima awak kapal Batavia tersebut merupakan awak kapal perusahaan Hindia Belanda, yang berlayar pada tahun 1629. Dalam perjalanannya dari Belanda ke Jawa, kapal tersebut karam di perairan Australia. Ini tak hanya sekadar kapal karam, tapi ada kisah tragis di balik itu.

Sudah menjadi buah bibir, para penumpang Kapal Batavia sering dirompak dan dibunuh oleh para perompak saat berada di daerah Morning Reef, tak jauh Pulau Beacon. Arkeolog menemukan tanda-tanda kekejaman perompak di kuburan massal, di sebuah pulau di bagian barat Australia.

Salah satunya adalah sebuah kerangka tanpa kepala milik seorang pria. Diduga, dijagal perompak lalu tubuh korban diseret ke tempat kuburan massal. Arkeolog menjelaskan bahwa komandan kapal, Francisco Pelsaert, meninggalkan kapal untuk mencari sumber air terdekat.

Sayangnya, dirinya harus turun kapal selama tiga bulan untuk mencari sumber air bagi kru kapalnya. Hal ini memancing seorang pedagang bernama Jeronimus Cornelisz, yang terkenal tamak, untuk mengambil alih kapal dan melakukan serangkaian pembunuhan. Tak terkecuali pada perempuan dan anak-anak.

Kekejian baru berakhir setalah Pelsaert kembali ke kapal, dan akhirnya melumpuhkan Cornelisz, dan para pemberontak pengikut Cornelisz dieksekusi. Tapi semuanya sudah terlambat. Dari 282 penumpang, total ada 115 orang yang meninggal, dan kebanyakan di antaranya dibunuh.

Pulau Beacon pun mendapat julukan Kuburan Batavia atau "Pulau Pembantaian". Bagi Jeremy Green, kepala arkeologi maritim di Museum Western Australian, hal tersebut mengundang tanya.

"Ini cerita yang cukup aneh, kan? Saya belum pernah membaca sesuatu yang seburuk itu," kata pria yang sudah mempelajari bangkai kapal Batavia selama lebih dari 40 tahun.

Penelitian mengenai kapal itu memang sudah dilakukan oleh para arkeolog selama beberapa dekade. Dalam rentang waktu tersebut, beberapa korban kapal ditemukan. Pada akhir 1980-an, nelayan di Pulau Beacon menggali saluran pembuangan dari kamar mandi, dan mereka menemukan tulang manusia.

Lantas pada 1994, arkeolog mulai menggali situs tersebut, dan menemukan tiga kerangka orang dewasa, remaja, anak kecil, serta bayi.

"Sebanyak 10 individu telah ditemukan di bagian utama pulau Beacon dalam tiga tahun terakhir. Ini memberikan informasi baru yang berharga," kata Daniel Franklin,  arkeolog dari University of Western Australia.

Rencana lain untuk meneliti tragedi kapal Batavia juga diungkapkan oleh Liesbeth Smits, antropolog dari University of Amsterdam. Ia berencana mengukur komposisi elemen makanan pada kerangka yang baru ditemukan dan mengetahui apa yang dimakan korban. Dengan menggunakan teknik ini, ia berharap dapat melacak asal penumpang.

Banyak penumpang Batavia ternyata tidak hanya berasal dari Belanda saja, namun juga dari Skandinavia, Inggris, Prancis, dan Jerman.

Seperti diketahui, tahun 1620-an, Eropa berada dalam pergolakan Perang Tiga Puluh Tahun yang mengerikan. Belanda juga masih berjuang dalam perang kemerdekaannya, selama beberapa dekade melawan Spanyol.

Saat itu, perang berkepanjangan membuat warga memilih untuk melarikan diri, dan bergabung dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda merupakan sebuah jalan keluar yang beresiko. Hanya satu dari tiga orang Eropa yang melakukan perjalanan pernah kembali selamat.

"Orang pindah dimana ada peluang. Mereka bisa diberi makan dan cukup dibayar dengan baik, jika beruntung mereka juga punya uang lebih," kata Jeremy Green, kepala arkeologi kelautan Western Australian Museum.

Studi ini masih akan terus berlanjut. Rencananya, tim peneliti akan menerbitkan artikel ilmiah mengenai temuan mereka, dan menjelaskannya dalam publikasi tersebut.

Baca juga: Lima Negara Memperebutkan Kapal Kuno Berisi Harta Karun

Related

Insight 893885528610413493

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item