Google, dari Mesin Sederhana Menjadi Raksasa Dunia

Google, dari Mesin Sederhana Menjadi Raksasa Dunia

Naviri Magazine - Jika kita masuk internet dan membuka halaman Google, yang kita dapati hanyalah halaman putih bersih dengan nama Google, plus kolom pencarian untuk memasukkan kata kunci. Sekilas, halaman Google tampak sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya, Google adalah raksasa di dunia maya.

Setiap saat, jutaan orang di dunia menggunakan Google untuk mencari informasi atau berita apa pun di internet. Jan Brophy, dalam ‘Is Google Enough?’, menulis, “Alih-alih pergi ke perpustakaan untuk mencari informasi, kini kita memilih mencari informasi dengan hanya beberapa klik dan sentuhan tuts keyboard (menggunakan Google).”

Kenyataannya, Google telah menjadi semacam pintu perustakaan besar yang memungkinkan kita menemukan apa saja yang ingin kita cari. Namun, Google juga tidak hanya sebatas itu. Google bukan sekadar mesin pencari yang diandalkan oleh pengguna internet, namun juga menjadi mesin penghasil uang dalam jumlah luar biasa besar bagi penciptanya.

Dari waktu ke waktu, Google menambah layanan bagi masyarakat dunia maya. Pada April 2004, Google meluncurkan layanan surat elektronik, Gmail. Di bulan Februari 2005, mereka merilis Google Maps. Menyusul kemudian merilis Youtube yang dibeli senilai 1,6 miliar dolar (November 2006), serta Chrome dan Android (September 2008).

Layanan-layanan yang berbeda jenis itu sukses. Gmail, mengutip Statista, memperoleh pangsa pasar sebesar 27 persen sebagai email client terunggul, jauh dibandingkan saingannya, Yahoo Mail, yang hanya punya 1 persen pangsa pasar.

Google Maps, di Amerika Serikat digunakan 154 juta pengguna aktif bulanan. Youtube, media sosial berbasis video, memiliki 1,8 miliar pengguna aktif bulanan. Chrome maupun Android jadi pemimpin pasar di masing-masing segmen. Meski demikian, banyak pula produk Google yang gagal. Misal Google Buzz, Google Catalogs, hingga Google Video.

Layanan yang disediakan Google juga menghasilkan keuntungan tak langsung. Ambil contoh di dunia ride-sharing di Indonesia: Go-jek. Setiap hari, perusahaan yang didirikan oleh Nadiem Makarim ini memproses 100 juta transaksi (Go-Ride, Go-Car, Go-Food, dll).

Layanan Google Maps yang digunakan Go-Jek itu tidak gratis. Selepas mencapai 25 ribu mapviews tiap hari, Google mematok tarif 7 dolar setiap 1.000 tambahan permintaan mapview.

Artinya, jika klaim Go-Jek memproses 100 juta transaksi benar, Go-Jek harus membayar Google sebesar 69.982,5 dolar atau lebih dari Rp1 miliar per hari. Angka itu hanya perkiraan semata, sebab satu transaksi tak sama dengan satu permintaan mapview.

Memesan Go-Ride untuk mengantar pengguna dari Kemang ke Margonda, misalnya, ada permintaan mapview untuk nama lokasi, menghitung jarak, hingga pemilihan rute. Angka aslinya bisa lebih besar dari hanya semiliar.

Itu baru Go-Jek, belum Grab, Uber, Lyft, Didi Chuxing, Olla, dan segala layanan ride-sharing yang memanfaatkan Google Maps. Google memang tak membikin aplikasi ride-sharing sendiri. Namun memiliki layanan yang jadi salah mesin kunci aplikasi ride-sharing cukup membuat Google bisa mengeruk keuntungan dari segmen tersebut.

Google, yang bermula dari mesin sederhana, kini jadi perusahaan raksasa penguasa dunia maya.

Baca juga: Nasib Facebook yang Kini Makin Ditinggal Penggunanya

Related

Internet 5337291120043427459

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item