Generasi Milenial Indonesia Terancam Tak Mampu Beli Rumah

Generasi Milenial Indonesia Terancam Tak Mampu Beli Rumah

Naviri Magazine - Rumah, sebagai kebutuhan penting manusia, diinginkan banyak orang. Tak jauh beda dengan kebutuhan manusia terhadap sandang dan pangan. Sayangnya, rumah termasuk barang yang memiliki harga tinggi atau bahkan sangat tinggi, dibandingkan makanan dan pakaian. Karenanya, ada berbagai tawaran kredit untuk pembelian rumah, namun itu pun masih dianggap cukup berat bagi banyak kalangan.

Bank Indonesia (BI) mencatat, debitur usia muda berusia 26-35 tahun saat ini lebih mendominasi pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk tipe rumah tapak berukuran 22-70 m2, rumah susun 22-70 m2, dan rumah susun di bawah ukuran 21 m2. Sementara debitur berusia 36-45 tahun mengalami penurunan sejak tahun 2014.

Data tersebut menunjukkan kebutuhan hunian dari golongan masyarakat yang lahir antara tahun 1980-1990-an alias generasi milenial masih tergolong tinggi. Sayangnya, belum seluruh milenial memiliki kesempatan mengajukan KPR untuk memiliki hunian sendiri.

Country General Manager Rumah123.com, Ignatius Untung, menjelaskan kelompok debitur di rentang usia 26-35 tahun hanya berkisar 40 persen dari total jumlah milenial yang ada di Indonesia. Artinya, terdapat 60 persen milenial yang masih belum memiliki akses terhadap KPR.

“Average-nya itu 33,5 tahun. Kalau dilihat, kan, milenial itu 24-39 tahun. Kalau di usia 33 itu saja baru 40 persen dari milenial, masih banyak yang belum dicapai,” kata Untung dalam sebuah diskusi di Hotel JS Kuwansa, Jakarta Selatan.

Banyaknya milenial yang belum memiliki rumah dan akses terhadap KPR, tentu bukan tanpa alasan. Sebab, daya beli masih menjadi isu utama rendahnya kepemilikan rumah di kalangan generasi milenial.

Kepala Sub Bidang Primer Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Asep Nurwanda, menjelaskan, daya beli masyarakat saat ini masih belum pulih sepenuhnya usai kejatuhan harga komoditas andalan ekspor Indonesia beberapa tahun belakangan.

Salah satunya adalah harga minyak mentah kelapa sawit alias crude palm oil (CPO). Berdasarkan data Bank Dunia, sejak Januari-September 2018 harga minyak kelapa sawit mentah turun 16,6 persen.

Apalagi data BPS menunjukkan kontribusi sub sektor perkebunan termasuk sawit dalam produk domestik bruto (PDB), yaitu sekitar 3,47 persen pada 2017 atau merupakan urutan pertama di sektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian.

Belum lagi komoditas lain di sektor pertambangan yang juga tengah susut. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), pada 2009 harga batubara masih 70,7 dolar per ton, puncaknya terjadi pada 2011 menembus 118,4 dolar per ton, tapi titik terendah pada 2018 mencapai 60,1 dolar per ton.

Kondisi tersebut menggerus pendapatan industri di sektor terkait. Akibatnya, penghasilan para pegawai di sektor komoditas itu juga ikut menyusut, dan berdampak secara umum pada perekonomian nasional yang melambat, serta lesunya daya beli masyarakat.

“Kondisinya, harga komoditas jatuh, konsumen properti, kan, di sektor itu. Dampaknya itu pasti ke sektor properti dan real estate, daya belinya kurang,” kata Asep Nurwanda.

Di sektor properti, lesunya daya beli masyarakat tercermin dari menurunnya penjualan unit properti dari 10 developer besar di Indonesia.

Berdasarkan data BI, terungkap total pra-penjualan 10 developer terbesar hingga Oktober 2018 hanya mencapai Rp27,68 triliun. Turun dari posisi tahun 2017 yang mencapi Rp42 triliun, dan juga lebih rendah dari posisi tahun 2016 yang sebesar Rp34,51 triliun.

Baca juga: Negara-negara Dunia yang Bangkrut dan Tak Bisa Membayar Utang

Related

World's Fact 8580462771932965875

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item