Mengenali Keyboard Warrior dan Troll di Dunia Maya

Mengenali Keyboard Warrior dan Troll di Dunia Maya

Naviri Magazine - Ketika berinteraksi di dunia maya, khususnya lagi di media sosial, kadang-kadang kita menghadapi situasi yang tidak mengenakkan. Yaitu munculnya orang-orang yang mengkomunikasikan sesuatu secara kasar, bahkan menyinggung orang lain—langsung maupun tak langsung.

Orang-orang itu tampaknya akan merespons apa saja dengan cara negatif, dan mereka sepertinya tidak peduli pada perasaan orang lain.

Pada 2014, seorang pembuat film asal Norwegia, Kyrre Lien, meluangkan waktunya untuk melihat berbagai kolom komentar di media daring saat Hari Natal. Dia terkejut melihat bagaimana banyaknya orang menyebar kebencian lewat komentar agresif mereka. Merasa penasaran dengan para komentator tersebut, Lien pun turut mengecek profil mereka satu per satu.

“Saya terpesona oleh betapa banyaknya kebencian dan ketidaktahuan yang ditulis orang-orang di kolom komentar sebuah situs berita, jadi saya mulai mencari tahu mereka dengan melihat profilnya masing-masing. Banyak yang tampak cukup normal, memiliki keluarga dan hidup sebagaimana orang umumnya, tetapi komentar yang mereka tulis di ruang publik sangat ekstrem. Ada ketidaksambungan,” ujar Lien kepada The Guardian.

Sejak itu, petualangan Lien mengamati para komentator tersebut terus berlanjut hingga tiga tahun lamanya. Dimulai dari tipikal komentator agresif di Norwegia, hingga ke pusatnya di Amerika Serikat.

Ada sekitar 200 subjek yang diamatinya, namun hanya sedikit yang berhasil diwawancarainya, baik secara langsung atau tidak. Hasil riset dan wawancara tersebut kemudian dirangkum Lien menjadi sebuah film dokumenter berjudul The Internet Warriors.

Lien mengkategorisasikan komentator agresif berdasarkan tipikal mereka: rasis, homofobik, hingga yang slut-shamers (perilaku yang kerap menstigmatisasi perempuan karena menganggap mereka provokatif secara seksual).

“Untuk mencari tahu apa motif mereka, siapa mereka, dan mengapa mereka memiliki pandangan demikian, saya menjadi [semacam] investigator,” katanya.

Dari sekian banyak tipikal komentator tersebut, ada satu jenis yang selalu menghindari Lien untuk diwawancarai: para misoginis. “Saya menghubungi banyak sekali misoginis, tapi tidak ada satu pun yang bersedia berbicara langsung, dan itu justru menarik.”

Lalu apa yang dipelajari Lien usai membuat film dokumenter tersebut? Ia berkesimpulan:

“Banyak, banyak sekali orang yang merasa kesepian. Mereka merasa masyarakat telah meninggalkan mereka di belakang, dan banyak juga dari mereka yang pernah menjadi korban perundungan. Tapi, pada akhirnya, saya belajar bahwa setiap orang mampu berubah, terutama karena kita semua hidup dinamis.

“Kita tidak bisa menutup mata dan menganggap mereka tidak ada, jika kita ingin mengubah cara mereka berdebat dan berkomunikasi. Penting untuk mendengar suara-suara tersebut.”

Sebetulnya ada pula istilah lain yang lebih populer untuk menyebut para jago kelahi di internet ini: Keyboard Warrior.

Dalam Urban Dictionary, istilah tersebut didefinisikan menjadi: “Seseorang yang, karena tidak mampu mengekspresikan kemarahannya melalui kekerasan fisik (memiliki kelemahan fisik, kurang berani dan/atau nyali dalam kehidupan nyata), memanifestasikan emosinya melalui media berbasis teks dari internet, biasanya dalam bentuk tulisan agresif yang tidak akan diungkapkan oleh mereka di kehidupan nyata.”

Keyboard Warrior pun dibagi lagi menjadi dua tipe: (1) Mereka yang memang sengaja mencari perhatian dengan memancing keributan, (2) Mereka yang melampiaskan amarah di dunia nyata ke dunia maya (ini tipe yang sama dengan definisi umum, baik di Urban Dictionary atau kalangan pengguna internet lain).

Untuk tipe yang pertama, sikap tersebut sejatinya lebih menjurus ke “troll”: orang-orang yang punya kecenderungan terhadap kekerasan, hingga ke tahap yang mampu membikin onar di suatu lingkungan.

Dalam laporan berjudul "How The Internet Created an Age of Rage", Tim Adams dari The Guardian turut menjelaskan perilaku “troll” tersebut. Dengan mengutip Tom Postmes, profesor psikologi sosial dari University of Exeter, Inggris, dalam buku Individuality and the Group: Advances in Social Identity (2006), Adams menyebut:

“Pada tahun-tahun awal, perilaku online ini disebut 'flaming', dan lama-kelamaan makin populer serta mengakar. Bagi teman-temannya, pelaku sebenarnya meniatkan perilakunya untuk lucu-lucuan saja, tapi pada akhirnya tetap berbenturan dengan standar norma sebagian besar pengguna internet lainnya. Mereka sengaja memicunya. Mereka ingin mempromosikan emosi antipati, rasa jijik, dan kemarahan, yang anehnya memberi mereka perasaan senang.”

“Perasaan senang” menjadi kalimat kunci untuk membedakan antara Keyboard Warrior dengan perilaku troll. Jika seorang Keyboard Warrior fokus kepada perkelahian untuk menunjukkan betapa jagoannya mereka di dunia maya, perilaku troll justru menganggap komentar agresif terhadap mereka adalah keasyikan tersendiri, dan makin menguatkan eksistensi mereka.

Selain itu, perilaku troll kerap dianggap tidak mengandung konsekuensi serius, karena terlindungi anonimitas pelakunya.

Hingga kini, solusi terbaik dalam menghadapi perilaku agresif di dunia maya, baik Keyboard Warrior atau troll, adalah memblokir akun bersangkutan atau mengacuhkan mereka. Kecuali Anda memang kebelet betul ingin berkelahi di dunia nyata, itu tentu pilihan pribadi dengan konsekuensi yang kelak ditanggung sendiri.


Related

Internet 6152152641424995780

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item