Kisah Orang-orang Hebat yang Menolak Hadiah Nobel

Kisah Orang-orang Hebat yang Menolak Hadiah Nobel

Naviri Magazine - Hadiah Nobel bisa dibilang merupakan penghargaan tertinggi di dunia. Karenanya, banyak orang yang bermimpi bisa mendapatkan hadiah tersebut. Selain ketenaran karena mendapatkan Nobel, hadiah tersebut juga diikuti uang yang sangat besar, sekitar Rp20 miliar. Karenanya, semua orang akan bersuka cita jika bisa mendapatkannya.

Tetapi, ternyata, ada orang-orang yang justru menolak atau tidak mau menerima hadiah Nobel. Meski penolakan itu kadang karena tekanan pemerintahnya. Buku 100 Years with Nobel Laureates, terbitan Encyclopedia Britannica, memuat kisah enam orang yang menolak hadiah Nobel. Berikut ini uraiannya.

Richard Kuhn

Kuhn adalah jenius luar-dalam. Pada umur 21 tahun, ia sudah berhasil menggondol gelar doktor dalam biokimia. Lima tahun kemudian, ia jadi profesor. Lewat penelitian ekstensifnya tentang carotenoid dan vitamin, ia berhasil menemukan struktur kimia vitamin A, B2, B6 dan, yang terpenting, sanggup mensintesiskan ketiganya.

Kuhn segera terkenal di kalangan ilmuwan karena hasil penelitiannya itu, dan diganjar hadiah Nobel Kimia pada 1938. Tapi, rezim fasis NAZI memaksanya menolak penghargaan tersebut.

Adolf Butenandt

Ilmuwan biokimia ini memperoleh penghargaan Nobel Kimia pada 1939, berkat penelitiannya tentang hormon seksual. Butenandt adalah pelopor pengembangan hormon seksual untuk kesehatan.

Bersama Leopold Ruzicka, ilmuwan Swiss yang berbagi Nobel dengannya, ia berhasil membuat sintesis hormon testosteron, dan kelak menjadi pijakan bagi ditemukannya pil kontrasepsi.

Seperti biasa, rezim Hitler melarang siapapun untuk menerima Nobel. Tak terkecuali Butenandt. Padahal secara prinsip, Butenandt sebenarnya menolak fasisme NAZI, dan tak ada bukti kuat dia terlibat dalam pengembangan senjata biologis. Akhirnya, panitia Nobel baru memberikan penghargaannya pada 1949, ketika Perang Dunia II telah berakhir.

Gerhard Domagk

Gerhard Domagk menemukan prontosil, antibiotik pertama yang dijual secara komersil, sebelum penisilin dan antibiotik lain ditemukan dan tersedia di pasaran.

Setelah prontosil dikembangkan, jumlah orang yang meninggal gara-gara infeksi bakteri menurun secara drastis. Itu kemajuan luar biasa bagi dunia kedokteran di awal abad 20. Atas penemuannya itu, para juri di Stockholm menganugerahi Nobel Kedokteran pada 1939.

Tapi nasibnya tidak jauh beda dengan dua pendahulunya: ia dilarang menerima hadiah Nobel. Bahkan Domagk jauh lebih sial. Hanya satu hari setelah pengumuman, Gestapo (polisi rahasia NAZI) menangkap Domagk dan memasukkannya ke penjara selama tujuh hari.

Boris Pasternak

Boris Leonidovich Pasternak menulis novel Doctor Zhivago, dan ia pun diumumkan meraih Nobel Sastra. Novel itu dilarang beredar di negaranya sendiri gara-gara dianggap mengandung kritik terhadap sosialisme Uni Sovyet.

Pada 1957, Doctor Zhivago berhasil diselundupkan ke Italia, dan diterbitkan di sana. Setahun kemudian, edisi bahasa Inggrisnya terbit dan menjadi bestseller di seluruh dunia.

Sejak novel itu menjadi tenar dalam waktu singkat, juga dipicu publikasi raihan Nobel Sastra untuk Pasternak, banyak orang curiga jika ada tangan CIA bermain di belakangnya.

Setelah Nobel Sastra untuk Pasternak diumumkan pada 1958, Pemerintah Sovyet bertindak cepat dengan melarangnya pergi ke Stockholm. Pelarangan ini disertai ancaman: jika Pasternak tetap nekat pergi, ia tidak boleh kembali lagi ke negaranya.

Jean-Paul Sartre

Jean-Paul Sartre terpilih sebagai pemenang Nobel Sastra 1964 atas karya-karya filsafatnya yang, seperti diungkapkan oleh panitia Nobel, “kaya akan gagasan dan berisi semangat kebebasan dan pertanyaan akan kebenaran.” Tapi ia menolaknya.

Sartre bilang bahwa alasan penolakan itu didasari pertimbangan pribadi dan obyektivitas.

Pertimbangan lain, Sartre tidak puas terhadap panitia Nobel yang sering berlaku tidak adil kepada penulis-penulis dari Blok Timur. Alasan politis dan ideologis ini mencerminkan keberpihakan, atau setidaknya simpati, Sartre kepada komunisme yang memang tidak pernah ia sembunyikan.

Le Duc Tho

Barangkali di antara semua penolak Nobel, Le Duc Tho yang punya alasan paling heroik. Ia adalah pemimpin tertinggi Vietnam Utara yang mesti berperang melawan Vietnam Selatan yang didukung AS.

Pada 1973, ia dan Henry Kissinger (Menteri Luar Negeri AS) menandatangani Perjanjian Damai Paris yang menyatakan gencatan senjata antara Vietcong dengan AS. Panitia Nobel tanpa ragu memilih Le Duc Tho dan Kissinger sebagai pemenang bersama Nobel Perdamaian 1973.

Tapi kemudian kepelikan terjadi. Le Duc Tho menolak hadiah Nobel, dan Kissinger tidak datang ke acara penganugerahan. Kontroversi ini bahkan menyebabkan dua orang komite pemilihan menyatakan mundur.

Para penentang Kissinger menuduh ketidakhadirannya berkaitan dengan pengeboman rahasia di Kamboja yang melibatkan dirinya. Kissinger dianggap tak punya kekuatan moral untuk datang menerima Nobel Perdamaian.

Related

World's Fact 6342270358021512690

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item