Kisah Pemberontakan PETA dan Misteri Sejarah Indonesia (Bagian 1)

 Kisah Pemberontakan PETA dan Misteri Sejarah Indonesia

Naviri Magazine - PETA (Pembela Tanah Air) adalah bentukan junta militer pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia, yang didirikan pada Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan tentara teritorial, guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera, jika pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, dkk.) tiba.

Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Kekaisaran Jepang. Tetapi berbeda dengan tentara-tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur.

Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya, adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya, untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.

Nurani para komandan muda itu tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagai budak oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai, sangat menyedihkan. Banyak yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama sekali.

Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang.

Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA pun terusik dan terhina.

Dalam buku "Tentara Gemblengan Jepang" yang ditulis oleh Joyce L. Lebra dan diterjemahkan oleh Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain.

Pertemuan-pertemuan rahasia sudah digelar sejak bulan September 1944. Shodancho Supriyadi merencanakan aksi itu bukan hanya sebagai pemberontakan, tetapi juga sebuah revolusi menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pemberontak PETA tersebut menghubungi komandan-komandan batalyon di berbagai wilayah lain, untuk bersama-sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan rakyat.

Tanggal 14 Februari 1945 kemudian dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar, dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.

Walaupun rencana pemberontakan telah dipersiapkan secara baik, tetapi terjadi hal yang tidak diduga. Tiba-tiba pimpinan tentara Kekaisaran Jepang memutuskan membatalkan pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar.

Selain itu, Kempetai (polisi rahasia Jepang) ternyata sudah mencium rencana aksi Shodancho Supriyadi dan kawan-kawan. Supriyadi pun cemas dan khawatir mereka ditangkap sebelum aksi dimulai.

Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan jumlah tentara Kekaisaran Jepang.

Namun, jika perlawanan dibatalkan pun tentara Kekaisaran Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.

Sebenarnya, banyak yang menilai rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno. Dalam perbincangan yang berlangsung cukup seru, Bung Karno sempat meminta Shodancho Supriyadi dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun akibat, apabila aksi pemberontakan PETA ternyata gagal total.

Tanggal 13 Februari 1945, malam hari, Shodancho Supriyadi memutuskan bahwa pemberontakan tetap harus dilaksanakan. Siap atau tidak siap, inilah saatnya tentara PETA membalas perlakuan tentara Jepang.

Shodancho Supriyadi juga berharap pengorbanan darah dan nyawa para pemberontak PETA akan mengobarkan semangat perjuangan segenap bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, meskipun semua orang sudah tahu mereka akan kalah menghadapi tentara Kekaisaran Jepang.

Baca lanjutannya: Kisah Pemberontakan PETA dan Misteri Sejarah Indonesia (Bagian 2)

Related

History 277035035842161313

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item