Al-Ghazali dan Penyebab Kemunduran Peradaban Islam

 Al-Ghazali dan Penyebab Kemunduran Peradaban Islam

Naviri Magazine - Banyak cendekia muslim kontemporer yang berpendapat bahwa al-Ghazali mempunyai andil yang cukup besar dalam kemunduran peradaban Islam. Buku Tahafut al Falasifah dianggap membungkam umat Islam, sehingga mereka takut memperdalam filsafat. Apalagi dalam buku tersebut Ghazali menggunakan kata kafir dan bidah, dua ungkapan yang sangat tidak disukai umat Islam.

Pertanyaannya, benarkah al-Ghazali dengan kitab Tahafut-nya menjadi sebab kemunduran pemikiran Islam, khususnya di bidang filsafat?

Mari kita lihat.

Dikatakan mengalami kemunduran, jika pemikiran sudah tidak tumbuh berkembang lagi. Atau bahkan sudah tidak ada geliat kembali. Jika dikatakan Ghazali sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam, khususnya di bidang filsafat, artinya masa setelah al-Ghazali sudah tidak ada lagi para filsuf muslim. Jika pun ada, jumlahnya tidak signifikan.

Namun, jika kita lihat sejarah Islam pasca al-Ghazali, ternyata masih banyak filsuf muslim yang cukup ternama. Pemikiran mereka tidak hanya berpengaruh di dunia Islam, bahkan punya andil dalam perkembangan peradaban Barat modern.

Di antara mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Haitsam, Ibnu Sab’iin, Ibnu Mulkan Al-Baghdadi, Ibnu Taimiyah, dan lain sebagainya. Para filsuf besar itu semuanya lahir setelah Imam Ghazali.

Barangkali ada yang mengatakan bahwa al-Ghazali menjadikan orang alergi dengan filsafat Aristotelian. Benarkah demikian? Pendapat ini juga mudah dibantah karena al-Ghazali sendiri sangat fanatik dengan logika Aristotelian. Beliau banyak menulis buku mantiq, seperti kitab Mi’yarul Ilmi dan al-Qisthas al-Mustaqim.

Bahkan beliau ulama Islam pertama yang memasukkan ilmu mantik Aristotelian sebagai mukadimah dalam ilmu ushul fikih. Dalam kitab Mi’yarul Ilmi, beliau mengatakan bahwa siapa pun yang tidak memahami ilmu mantiq maka kualitas keilmuannya patut diragukan.

Setelah beliau, para filsuf muslim tetap konsisten menggunakan logika Aristotelian, seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Hazm. Bahkan Ibnu Hazm menjadikan logika Aristotelian sebagai rumusan dalam membentuk kaidah-kaidah ilmu ushul fikih. Ini bisa dilihat dari kitab Attaqrib, al-Muhalla, dan juga al-Ihkam, karya beliau.

Hanya sedikit filsuf muslim yang anti dan memberikan kritikan tajam terhadap logika Aristotelian. Itu pun karena mereka berseberangan dan menganggap bahwa logika Aristotelian mempunyai banyak kelemahan. Logika Aristotelian dianggap sekadar olah bahasa yang sama sekali tidak mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Umat Islam lebih membutuhkan logika yang langsung bersentuhan dengan realitas kehidupan umat. Logika yang juga bersentuhan dengan kemajuan tegnologi. Logika ini lebih dikenal dengan logika matematis empiris.  Ini bisa dilihat dalam kitab Ibnu Taimiyah, Arradu Alal Mantiqiyyin dan Naqdu al-Mantiq. Juga buku karya Imam Suyuti yang berjudul Shaunul Mantiq. 

Jadi, Imam Suyuti dan Ibnu Taimiyah jauh lebih dulu memberikan kritikan tajam terhadap mantiq Aristotelian dibanding para filsuf Barat modern.

Ada juga yang beranggapan bahwa semenjak al-Ghazali, filsafat Islam berpindah dari sunni ke syiah. Dari sini tidak heran jika banyak bermunculan para filsuf syiah kontemporer. Pendapat ini juga perlu dikritisi. Semua filsuf di atas merupakan filsuf sunni. Satu pun tidak ada yang syiah. Di era kontemporer juga banyak filsuf sunni, seperti Muhamamd Abduh, Muhamamd Iqbal, Qasim Amin, Abbas Mahmud Aqad, dan lain sebagainya.

Kemunduran umat sesungguhnya bukan karena serangan Ghazali kepada para filsuf. Kemunduran umat lebih didominasi oleh kondisi sosial umat Islam sendiri. Dari luar, umat Islam diserang oleh tentara Mongol yang mengahancur-leburkan khilafah Islamiyah yang berpusat di Bagdad. Setelah itu juga terjadi perang salib yang berkepanjangan.

Dari dalam tubuh umat Islam, terjadi perpecahan luar biasa. Umat Islam menjadi negara kecil-kecil yang satu sama lain saling menyerang. Dunia Islam diributkan oleh politik. Dalam kondisi perang dan ketidakstabilan politik, bagaimana mungkin sebuah peradaban bisa berkembang? Jangankan berpikir membangun, yang ada justru saling menghancurkan.

Ketidakstabilan politik juga berdampak pada kemunduran umat dalam bidang intelektual. Kenyataannya, yang mengalami kemunduran bukan hanya filsafat, namun juga seluruh pemikiran keislaman secara umum, baik tafsir, fikih, ushul fikih, ulumul hadis, ulumul quran, dan lain sebagainya. Jadi, kemunduran umat menjadi fenomena umum dan bukan karena Imam al-Ghazali. Wallahu a’lam.

Related

Science 7430885907258977560

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item