Sejarah Pengetahuan Alkimia, Mengubah Logam Menjadi Emas (Bagian 2)

Sejarah Pengetahuan Alkimia, Mengubah Logam Menjadi Emas

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Pengetahuan Alkimia, Mengubah Logam Menjadi Emas - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Alkimia dan Yunani

Bangsa Yunani mengambil keyakinan kuno bangsa Mesir, dan memadukannya dengan filsafat Pythagoreanisme, ionianisme, dan gnostisisme. Pada intinya, filsafat Pythagorean adalah keyakinan bahwa bilangan mengatur alam semesta, keyakinan yang berasal dari pengamatan bunyi, bintang, bentuk geometris seperti segitiga, atau apa pun yang perhitungannya dapat menghasilkan angka rasio.

Pemikiran Ionia didasarkan pada keyakinan bahwa alam semesta dapat dijelaskan melalui mempelajari fenomena alam; filsafat diyakini diciptakan oleh Thales dan muridnya Anaximander, dan kemudian dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles, yang karya-karyanya menjadi bagian Alkimia.

Menurut keyakinan ini, alam semesta dapat digambarkan oleh beberapa hukum alam yang dapat diketahui melalui penjelajahan filosofis yang hati-hati, saksama, teliti.

Komponen ketiga yang dimasukkan ke filsafat hermetis oleh bangsa Yunani adalah gnotisisme, keyakinan yang tersebar luas di Kekaisaran Romawi Kristen, bahwa dunia tidak sempurna karena diciptakan dengan cara yang cacat, dan mempelajari sifat materi spiritual akan menuntun kita pada keselamatan.

Mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak "menciptakan" alam semesta dalam makna klasik, tetapi bahwa alam semesta diciptakan "dari-Nya", tetapi kemudian rusak (bukan dirusak oleh pelanggaran Adam dan Hawa, yakni dosa waris).

Menurut keyakinan Gnostisisme, memuja kosmos, alam, dan makhluk dunia, itulah memuja Tuhan Sejati. Kaum Gnostik tidak mencari keselamatan dari dosa, melainkan berupaya melepaskan diri dari ketidaktahuan, meyakini bahwa dosa hanyalah konsekuensi dari ketidaktahuan. Teori Platonis dan neo-Platonis tentang universal dan kemahakuasaan Tuhan juga diserap.

Sebuah konsep yang sangat penting yang diperkenalkan pada masa ini berasal dari Empedocles dan dikembangkan Aristoteles, bahwa semua hal di alam semesta terbentuk dari hanya empat unsur; tanah, udara, air, dan api. Menurut Aristoteles, setiap unsur memiliki lingkup asal, tempatnya kembali jika tidak terganggu.

Keempat unsur bangsa Yunani lebih merupakan aspek kualitatif materi (kualitas materi), bukan kuantitatif (banyaknya materi) sebagaimana unsur kimia modern.

"Alkimia sejati tak pernah menganggap tanah, udara, air, dan api sebagai zat fisik atau kimia sebagaimana makna katanya pada masa kini. Keempat unsur ini sederhananya adalah sifat-sifat primer dan umum. Melalui sifat-sifat ini, zat nirbentuk dan kuantitatif dari semua benda mewujudkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang jelas".

Para alkimiawan selanjutnya (jika Plato dan Aristoteles boleh disebut alkimiawan) mengembangkan aspek mistis konsep ini secara luas.

Alkimia dan Kekaisaran Romawi

Bangsa Romawi mengambil Alkimia dan metafisika Yunani, sebagaimana mereka menyerap sebagian besar pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada akhir Kekaisaran Romawi, filsafat Alkimia Yunani telah digabungkan dengan filsafat bangsa Mesir, dan membentuk aliran Hermetisisme.

Namun, perkembangan agama Kristen di Kekaisaran tersebut membawa jalur pemikiran yang bertolak belakang. Berakar dari Agustinus (354-430 M), seorang filsuf Kristen awal yang menuliskan keyakinannya, menjelang runtuhnya Kekaisaran Romawi.

Pada intinya, ia merasa bahwa akal dan iman dapat digunakan untuk memahami Tuhan, tetapi filsafat itu buruk: "Dalam jiwa juga terdapat, melalui indra badaniah, sejenis keinginan dan keingintahuan hampa yang bertujuan bukan untuk menikmati tubuh, tetapi memperoleh pengalaman melalui tubuh, dan keingintahuan hampa ini dihormati atas nama pembelajaran dan ilmu pengetahuan".

Gagasan Augustinian jelas-jelas menentang eksperimen, tetapi ketika teknik eksperimental Aristotelian tersedia bagi dunia Barat, teknik tersebut tidak ditolak.

Namun, pemikiran Augustinian sudah mendarah daging dalam masyarakat Zaman Pertengahan, dan digunakan untuk menuding Alkimia sebagai ilmu yang tidak ilahiah. Pada akhirnya, pada akhir era pertengahan, arus pemikiran ini menciptakan celah permanen, yang memisahkan Alkimia dari agama, yang dahulu justru mendorong kelahirannya.

Sebagian besar pengetahuan Romawi tentang Alkimia, sebagaimana pengetahuan Yunani dan Mesir, sekarang hilang. Di Alexandria, pusat pengkajian alkimia di Kekaisaran Roma, seni tersebut disampaikan dari mulut ke mulut, dan, untuk mempertahankan kerahasiaan, hanya sedikit yang dituliskan.

(Sejak itu, kata "hermetis" berarti "rahasia"). Mungkin saja ada sebagian yang ditulis di Alexandria, dan kemudian hilang atau terbakar pada masa-masa kericuhan itu.

Alkimia dan Islam

Dunia Islam merupakan tempat peleburan bagi Alkimia. Pemikiran Platonis dan Aristotelian, yang sudah sedikit-banyak disisihkan menjadi ilmu hermetis, terus diasimilasi.

Alkimiawan Islam, seperti Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (Rasis atau Rhazes dalam Bahasa Latin) juga menyumbangkan temuan-temuan kimiawi penting, seperti teknik penyulingan (kata alembic dan alkohol juga berasal dari Bahasa Arab), asam klorida, asam sulfat, dan asam nitrat, al-natrun, dan alkali yang kemudian membentuk nama untuk unsur natrium dan kalium, dan banyak lagi.

Penemuan bahwa air raja atau aqua regia, campuran asam nitrat dengan asam klorida, dapat melarutkan logam mulia emas, adalah penemuan yang memacu imajinasi para alkimiawan selama seribu tahun selanjutnya.

Para filsuf Islam juga memberikan sumbangan besar untuk hermetisisme Alkimia. Penulis yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah Jabir bin Hayyan. Tujuan utama Jabir adalah takwin, penciptaan buatan makhluk hidup dalam laboratorium Alkimia, termasuk manusia. Ia menganalisis setiap unsur Aristotelian, panas, dingin, kering, dan lembap.

Menurut Jabir, dalam setiap logam, dua sifat ini berada di dalam dan dua berada di luar. Misalnya, timah itu dingin dan kering di luar, sedangkan emas itu panas dan lembap. Maka, Jabir berteori, dengan mengatur ulang sifat-sifat sebuah logam, bisa dihasilkan logam lain.

Dengan penalaran ini, pencarian batu filsuf diperkenalkan dalam Alkimia Barat. Jabir mengembangkan numerologi yang rumit, yakni huruf-akar dari nama sebuah zat dalam Bahasa Arab, yang jika ditransformasi akan berkaitan dengan sifat fisika unsur tersebut.

Alkimia dan Eropa Zaman Pertengahan

Karena kuatnya hubungan dengan kebudayaan Yunani dan Romawi, Alkimia diterima dengan mudah oleh filsafat Kristen, dan para alkimiawan Eropa zaman pertengahan memperluas penyerapannya terhadap pengetahuan Alkimia Islam.

Gerbert of Aurillac, yang kemudian menjadi Paus Silvester II (meninggal 1003), adalah salah seorang di antara yang pertama membawa ilmu pengetahuan Islam ke Eropa dari Spanyol. Tokoh sesudahnya, seperti Adelard of Bath, yang hidup pada abad 12, membawa pengetahuan tambahan. Tetapi sampai abad 13, gerakan-gerakan tersebut terutama bersifat asimilatif.

Pada periode ini muncul beberapa penyimpangan terhadap prinsip Augustinian dari para pemikir Kristen awal.

Saint Anselm (1033–1109) adalah seorang Benedictine (pengikut St. Benedict) yang mempercayai bahwa keyakinan/iman harus mendahului rasionalisme, sebagaimana Augustine serta kebanyakan teolog sebelum Anselm mempercayai, tetapi Anselm lebih berpendapat bahwa iman dan rasionalisme bersifat sesuai, dan ia menyemangati rasionalisme di dalam konteks Kristen.

Pandangan-pandangannya menyiapkan tempat terjadinya ledakan filsafat.

Saint Abelard, seorang penganut karya Anselm, meletakkan dasar diterimanya pemikiran Aristotelian, sebelum karya-karya pertama Aristoteles menjangkau dunia Barat. Pengaruh besarnya pada Alkimia adalah keyakinannya bahwa alam semesta Platonis tidak memiliki eksistensi terpisah di luar kesadaran manusia. Abelard juga mensistematikakan analisis dari kontradiksi-kontradiksi filsafat.

Robert Grosseteste (1170–1253) adalah perintis teori ilmiah yang kemudian digunakan dan dipoles oleh para ahli kimia. Ia mengambil metode analisis Abelard dan menambahkan penggunaan pengamatan, eksperimentasi, dan penyimpulan dalam membuat evaluasi ilmiah. Grosseteste juga banyak menjembatani pemikiran Platonis dan Aristotelian.

Baca lanjutannya: Sejarah Pengetahuan Alkimia, Mengubah Logam Menjadi Emas (Bagian 3)

Related

Science 3579695405260316676

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item